KATA
PENGANTAR
Segala puji dan
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang maha esa, karena atas berkat dan
limpahan rahmatnyalah maka kami bisa menyelesaikan sebuah karya tulis dengan
tepat waktu.
Berikut ini penulis
mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “FUNGSI MANAJEMEN PENDIDIKAN YANG
DI DESENTRALISASI”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi
kita untuk mempelajari manajemen berbasis sekolah.
Melalui kata
pengantar ini penulis & penyusun lebih dahulu meminta maaf dan memohon
permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami
buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini kami
mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT
memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat. Amiin...
Karawang, 14
Oktober 2014
Penulis
ANGGA
ABDUL MALIK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Peningkatan mutu
pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan
merupakan bagian integral dari upaya peningkatan manusia Indonesia secara
menyeluruh. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tanggung jawab
pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subjek yang
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, tangguh, kreatif,
mandiri, demokratis dan professional di bidang masing – masing.
Persaingan pada
era globalisasi ini menuntut manusia yang memiliki kemampuan yang
tinggi, oleh karena itu pemerintah telah melakukan penyempurnaan sistem
pendidikan baik melalui penataan perangkat lunak seperti kurikulum dan
perangkat keras seperti perbaikan sarana dan prasarana sekolah. Dalam
manajemen sekolah model MBS ini berarti tugas-tugas manajemen sekolah
ditetapkan menurut karakteristik-karakteristik dan kebutuhan-kebutuhan sekolah
itu sendiri (Nurkolis, 2003).
Jika sebelumnya
manajemen pendidikan merupakan
kewenangan pusat dengan paradigma top-downatau sentralistik, maka
dengan pembaharuan undang–undang di bidang pendidikan, maka manajemen
pendidikan bergeser pada pemerintah daerah kota dan kabupaten dengan
paradigma buttom-up atau desentralistik, dalam wujud
pemberdayaan sekolah yang meyakini bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan
sedapat mungkin keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang berada di garis
depan (line staf), yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
kebijakan, dan terkena akibatnya secara langsung, yakni guru dan
kepala sekolah.
Untuk memajukan
pendidikan diperlukan paradigma baru manajemen pendidikan. Dalam hal ini,
berbagai pihak menganalisis dan melihat perlunya diterapkan manajemen berbasis
sekolah (school based management), yang dapat mengelola pendidikan
sesuai dengan tuntutan reformasi dalam era globalisasi. MBS merupakan sebagai
bentuk operasional desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah yang
akan memberikan wawasan baru terhadap sistem yang sedang berjalan selama
ini. Melalui
otonomi daerah pengambilan keputusan yang menyangkut pelaksanaan layanan
pendidikan akan semakin mendekati masyarakat yang dilayaninya (customer)
hingga akuntabilitas layanan bergeser dari yang lebih berorientasi kepada
kepentingan pemerintah pusat ke akuntabilitas yang lebih berorientasi kepada
kepentingan masyarakat luas dan terbuka. Hal ini mengandung arti bahwa
pengambilan keputusan tentang pelaksanaan pendidikan didaerah menuntut
partisipasi masyarakat dan orang tua yang lebih luas dan terbuka, terutama
dalam menumbuhkan manajemen yang transparan dan demokratis (Mulyasa,
2005).
Perkembangan system pendidikan di Indonesia
telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang seirama dengan pasang surut
perjalanan sejarah bangsa. Jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945, system pendidikan yang berkembang di Indonesia adalah
system pendidikan tradisional yang sejak awal memang lahir dari tuntutan dan
kebutuhan masyarakat. Pada awal kemerdekaan RI, para pendiri republic yang
sebagian besar adalah para tokoh pendidikan, memusatkan usahanya untuk
membangun system pendidikan nasional sebagai pengganti dari system pendidikan
colonial yang telah berlangsung lebih dari tiga abad. System pendidikan
nasional mulai menampakan bentuknya sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 4 tahun
1950 tentang Dasar-Dasar pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.
Dalam kurun waktu 50 tahun Indonesia
merdeka, Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan Undang-Undang, yakni
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954, dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang system pendidikan Nasional. Selama
kurun waktu tersebut, telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan, baik
dari aspek substansi maupun kekuasaan dan kewenangan penyelenggaraannya.
Dari aspek substansi, telah terjadi
perubahan dan perkembangan, antara lain tentang tujuan pendidikan, kurikulum,
metode mengajar, penilaian pendidikan terus berlangsung dengan adanya perubahan
rencana pelajaran 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 84, kurikulum
1994, dan kini berlangsung KTSP. Perubahan pada aspek kekuasaan dan kewenangan
penyelenggaraan pendidikan, antara lain tampak pada perubahan system
pendiidikan nasional yang mulanya sentralistik kini menjadi system pendidikan
nasional yang mengalami desentralisasi. Bagian ini akan mengupas satu aspek
yang kini telah, sedang, dan terus akan bergulir, yakni perkembangan
pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yang akan menitikberatkan tentang
bagaimana system desentralisasi pendidikan di Indonesia.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa pengertian desentralisasi pendidikan?..
2. Bagaimana konsep desentralisasi pendidikan?..
3. Apa saja fungsi-fungsi manajemen desentralisasi?..
4. Apa tujuan dan manfaat desentralisasi pendidikan di indonesia?..
5. Bagaimana desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah?..
6. Apa kelebihan dan kekurangan desentralisasi pendidikan?..
1.3 Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini
adalah selain sebagai tugas kelompok mata kuliah Manajemen madrasah, juga untuk
mengetahui tentang pengertian, konsep, fungsi-fungsi manajemen, tujuan dan
manfaat, serta kelebihan dan kekurangan desentralisasi pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian desentralisasi pendidikan
a. Pengertian desntralisasi
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat
keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang yang berada pada level
bawah dalam suatu struktur organisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada banyak
definisi. Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin
“de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan
melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I,
pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI.
b. Pengertian pendidikan
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Pendidikan
yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara.
c. Desentralisasi pendidikan sendiri
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
pengertian desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga
yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk
melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala
fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan.
Pengertian desentralisasi pendidikan menurut Hurst
(1985), bahwa “the decentralization process implies the transfer of
certain function from small group of policy-makers to a small group of
authorities at the local level” dengan kata lain desentralisasi merupakan
proses penyerahan fungsi-fungsi tertentu dari sekelompok kecil pembuat
kebijakan kepada satu kelompok kecil pemegang kekuasaan pada tataran local.
Definisi Hurst tersebut telah menggambarkan dengan jelas proses penyerahan
fungsi-fungsi pemerintahan yang kemudian diberikan kepada pemerintah
daerah.
Menurut Chau (1985: 96-97) merujukkan desentralisasi
pada konsep pendelegasian kekuasaan kepada pemerintah daerah, dengan tujuan
meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya. Ia menyatakan
“decentralization is a certain delegation of power to regional admistration,
but with the sole objective of increased efficiency in the use of resources”.
2.2
Konsep desentralisasi pendidikan
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bak Hak dan
Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.Pada bagian ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya
dalam penyelenggaraan pendidikan”.
Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi
setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”. Khusus
ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24 ayat (2) “Perguruan Tinggi
memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi,
tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri.
Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi
pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang
mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk
memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang
sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang
Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020.
Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi
diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat
suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu
strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat harkat dan
martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui
otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.
2.3 Fungsi-fungsi
manajemen desntralisasi
a. Perencanaan dan evaluasi
Sekolah diberi kewenangan
untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan yang
dimaksud, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Oleh karena itu,
sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu, yang hasilnya akan digunakan sebagai dasar
dalam membuat rencana peningkatan mutu sekolah. Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi,
khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan
oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan hasil program-program
yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri.
Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
b. Pengembangan kurikulum
Pengembangan
kurikulum sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing satuan
pendidikan, dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan, standar isi,
kerangka dan struktur kurikulum, serta panduan penyusunan kurikulum yang telah ditetapkan
oleh pemerintah pusat. Kebijakan tersebut memungkinkan setiap satuan pendidikan
untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Sekolah
berkewenangan mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi) kurikulum,
namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional.
Sekolah dibolehkan memperdalam kurikulum, artinya apa yang diajarkan boleh
dipertajam dengan aplikasi yang bervariasi. Sekolah juga dibolehkan memperkaya
apa yang diajarkan, artinya apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus,
yang seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan
memodifikasi kurikulum, artinya apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar
lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu
sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
Berdasarkan
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan hal-hal terkait
dengan kurikulum yaitu dalam pasal 35, pasal 36, dan 38 serta peraturan Mendiknas
No. 22 Tahun 2006, dapat ditegaskan sebagai berikut:
1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan
dasar dan menengah disusun dan ditetapkan oleh pemerintah untuk menjaga standar
nasional dalam hal isi, proses, dan kompetensi lulusan. Dalam hubungan ini,
kurikulum baru yang sedang diperkenalkan memuat standar kompetensi, standar
isi, dan standar proses. Oleh karena menekan pada berbagai kompetensi yang
harus dicapai oleh peserta didik, kurikulum baru ini dikenal dengan nama
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
2) Dalam kerangka MBS, kewenangan yang
diberikan kepada satuan pendidikan bersama komite untuk mengembangkan kurikulum
dalam bentuk pengembangan dan penjabaran dari apa yang sudah ditetapkan secara
nasional, dibawah koordinasi dan supervise dinas pendidikan sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi sekolah. Pengembangan kurikulum tersebut dapat dilakukan
baik secara sendiri-sendiri oleh satuan pendidikan atau dilakukan secara
bersama-sama oleh beberapa sekolah bersama komitenya (bisa dalam satu gugus
atau tingkat kecamatan bahkan bisa dalam tingkat kabupaten), dengan koordinasi
dan supervise dinas pendidikan kabupaten/kota.
3) Guru mempunyai kewenangan untuk mengembangkan
proses pembelajaran, sesuai metode yang dia kuasai dan dia pilih, serta alat bantu
dan sumber belajar yang dia anggap efektif untuk mendukung proses pembelajaran.
Jadi, kewenangan
sekolah dalam hal pengembangan kurikulum adalah pengembangan kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang mendasarkan pada standar isi, standar kompetensi dan
standar kelulusan, serta memilih, menjabarkan dan mengembangkan materi
pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi yang diinginkan, termasuk di
dalamnya adalah pemilihan metode, program pengayaan, program perbaikan (remedial),
dan pelaksanaan proses pembelajarannya, dengan dukungan input lainnya, serta
evaluasi oleh sekolah.
c. Pengelolaan proses pembelajaran
Proses belajar
mengajar merupakan kegiatan utama di sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih
strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling
efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa,
karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
Secara umum strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran
yang berpusat pada siswa (student centered) lebih mampu memberdayakan
pembelajaran siswa. Pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah pembelajaran
yang menekankan pada keaktifan belajar siswa, bukan pada keaktifan mengajar
guru.
Desentralisasi
pengelaolaan melalui MBS memberikan kewenangan kepada sekolah untuk
melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah.
Disamping itu dengan KTSP, sekolah atau guru dapat mengembangkan secara mandiri
materi ajar dan kegiatan belajar yang diperlukan untuk mencapai standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan, serta meningkatkan mutu
sekolah sesuai dengan karakteristik sekolah masing-masing. Untuk dapat
mewujudkan hal itu, sekolah harus memiliki persiapan yang matang dan memberdayakan
seluruh potensi dan unsur sekolah. Dengan demikian, pembelajaran pun dapat
lebih efektif untuk dapat menghasilkan prestasi belajar yang lebih tinggi.
Proses pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan merupakan bentuk pembelajaran yang menghadapkan
siswa pada suatu atau sejumlah sumber belajar secara individual atau kelompok.
Menurut Fattah (Syaifuddin, 2007), proses pembelajaran yang
efektif adalah suatu kondisi yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berpikir dan berbeda
pendapat dengan guru, sehingga terjadi dialog interaktif. Sedangkan Slamet PH
menyatakan bahwa proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar yang
digunakan melalui interaksi perilaku pengajar dan perilaku pelajar, baik di
dalam maupun di luar ruang kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan
pemberdayaan pelajar, maka penekanannya bukan sekedar penguasaan pengetahuan
tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi merupakan internalisasi
tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan
nurani dan dihayati serta dipraktikkan oleh pelajar (etos)
Proses pembelajaran
seharusnya lebih mementingkan proses pencarian jawaban daripada sekedar
memiliki jawaban. Karena itu, proses pembelajaran yang lebih mementingkan
jawaban baku yang dianggap benar oleh pengajar adalah kurang efektif. Oleh
sebab itu, perlu disadari bahwa proses pembelajaran yang efektif semestinya
menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi
untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru (meskipun hasilnya keliru),
memberikan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan
demokrasi, dan memberikan toleransi pada kekeliruan-keliruan akibat kreatifitas
berpikir.
d. Pengelolaan ketenagaan
Dalam rangka MBS peran kewenangan atau
peran sekolah masih akan sangat terbatas pada mengelola ketenagaan yang sudah
ada di sekolah, dan sebatas mengelola pemanfaatan tenaga yang sudah diangkat
oleh pemerintah/pemerintah daerah, kecuali untuk tenaga honorer yang
insentifnya sebagian besar dapat dibayarkan malalui dana BOS dan/atau melalui
sumbangan orang tua (komite sekolah). Pasal 41 ayat (1), (2), dan (3) UU
Sisdiknas 2003 menyiratkan keterbatasan kewenangan sekolah:
1) Pendidikan dan tenaga kependidikan dapat bekerja
secara lintas daerah.
2) Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran
pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya
berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.
3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga
kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu.
Pasal 44 ayat (1),
(2), dan (3) di bawah ini makin memperjelas bahwa pengelolaan ketenagaan untuk
satuan pendidikan, sebagian besar tidak pada sekolah/madrasah.
1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina
dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
2) Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat
berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan yang diselenggarakannya.
3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membantu
pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal
yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Terbatasnya
kewenangan sekolah, khususnya sekolah negeri dalam pengelolaan bidang
ketenagaan tentu tidak membuat MBS kehilangan makna dalam hal ini. Dalam
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia sebagai bagian dari sumber daya
pendidikan, satuan pendidikan harus dapat memotivasi, menggalang kerja sama,
menyamakan visi, menyadari misi, serta mengembangkan staf pada level
sekolah/madrasah yang belum ditangani oleh birokrasi diatasnya. Satuan
pendidikan juga melakukan penggalian sumber daya manusia dari luar melalui
kerja sama dengan berbagai pihak. Sebagai contoh pengangkatan guru honorer atau
kontrak disekolah seperti guru komputer, bahasa Inggris, dan lain-lain.
e. Pengelolaan fasilitas sekolah
Pengelolaan fasilitas sekolah sudah seharusnya
dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan,
hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang
paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun
kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung
dengan proses belajar mengajar. Kebijakan pemerintah tentang
pengelolaan sarana dan prasarana sekolah tertuang didalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sidiknas pasal 45 ayat 1 yaitu, “Setiap
satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan
pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan
intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.
f. Pengelolaan keuangan
Bidang keuangan
bagi pendanaan pendidikan di sekolah merupakan salah satu elemen MBS yang
sangat penting. Dari kajian pengalaman di negara- negara lain kita temukan
istilah “school-based budget”, “resource allocation”, dan “school-funding
formula”, yang semua merujuk keuangan sekolah sebagai elemen penting di
dalam pelaksanaan MBS.
Berkaitan dengan
pendanaan pendidikan ini, UUD 1945 hasil amandemen ke-4 tahun 2002 pasal 31
ayat (1), (2), dan (4) menyatakan sebagai berikut:
1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.
2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
3) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang- kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
Di samping itu, UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 49 ayat (1) juga menyatakan bahwa:
Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Nampaknya ketentuan
tersebut melegakan berbagai pihak terutama kalangan pendidikan dan orang tua
yang bakal lebih ringan bebannya dalam mengeluarkan biaya pendidikan yang saat
ini dirasakan makin menghimpit. Tetapi jangan terlalu girang terlebih
dahulu, sebab penjelasan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tahun 2003 tersebut berbunyi:
“Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap”.
Sementara pasal 49
ayat (3) UU Sisdiknas 2003 menyatakan dana pendidikan dari Pemerintah dan
pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan semangat elemen pokok
MBS yang menghendaki adanya alokasi dana pendidikan untuk sekolah dalam bentuk
“block grant”(hibah).
Oleh karena ada
tuntutan prinsip pendanaan yang adil, kecukupan, berkelanjutan, dan prinsip
pengelolaan yang juga adil, efisien, transparan dan akuntabel (seperti diatur
dalam pasal 47 ayat (1) UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003), perlu ada formula
pendanaan pendidikan untuk tiap sekolah (school funding formula). Tentu
saja hal ini masih perlu waktu, tetapi harus perlu segera dirumuskan dan
ditetapkan kalau MBS akan diterapkan secara sungguh-sungguh. Prinsip ini juga
berlaku untuk semua satuan pendidikan, termasuk pendanaan untuk satuan
pendidikan swasta baik sekolah maupun madrasah.
Secara yuridis (menurut UU Sisdiknas tahun
2003) kewenangan sekolah di dalam bidang pengelolaan keuangan sudah sesuai
dengan konsep MBS, terutama untuk sekolah negeri. Dari segi pelaksanaan, hibah yang diberikan selama
ini sudah mulai terlibat polanya melalui BOS, dan dana-dana lain yang
disediakan oleh propinsi maupun pemerintah pusat.
Salah satu jabaran
kebijakan pemerintah berkenaan dengan dana pendidikan direalisasikan dalam
bentuk Bantuan Operasional Siswa (BOS) yang besarnya tergantung dari jumlah siswa.
Walaupun kebijakan BOS ini menguntungkan bagi siswa dalam mengelola pendidikan di tingkat satuan
pendidikan, namun bagi sekolah yang jumlah siswanya sedikit, kebijakan ini
dirasakan masih kurang adil, karena kebutuhan biaya operasional sekolah tidak
mencukupi. Dengan MBS, penyelenggaraan pendidikan dapat melakukan inovasi
pengalokasian sumber dana pendidikan, yang tidak hanya tergantung pada hibah
dari pemerintah, tetapi bersama-sama dengan komite sekolah dapat menghimpun
pendanaan dari masyarakat, dunia usaha, dan dunia industri (DUDI).
g. Pelayanan siswa
Pelayanan siswa meliputi penerimaan siswa baru,
pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah
atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, dimana
hal ini sudah didesentralisasikan terlebih dahulu sehingga yang diperlukan saat
ini adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. Sutisna (Syaifuddin,
2007) mengemukakan tugas kepala sekolah dalam menajemen siswa adalah menyeleksi
siswa baru, menyelenggarakan pembelajaran, mengontrol kehadiran murid,
melakukan uji kompetensi akademik/kejuruan, melaksanakan bimbingan karier serta
penelusuran lulusan. Uji kompetensi yang dilakukan bersama kepala sekolah dan
asosiasi profesi memudahkan penyaluran dan pemasaran lulusan sekolah ke dunia
kerja, ataupun menciptakan lapangan kerja sendiri untuk berwiraswasta. Kepala
sekolah harus menyadari bahwa kepuasan peserta didik dan orang tuanya serta
masyarakat, merupakan indikator keberhasilan sekolah (Sallis, dalam Syaifuddin,
2007). Keberhasilan ini adalah konsep dasar yang harus menjdi acuan kepala
sekolah dalam mengukur keberhasilan sekolahnya.
h. Hubungan sekolah dengan masyarakat
Esensi hubungan
sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian,
kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan
finansial. Kinkred Leslie (dalam Syaifuddin, 2007) mengemukakan pengertian
hubungan sekolah dan masyarakat sebagai berikut: “School public relation is
a process of communication between the school and community for purpose of
increasing citizens interest and cooperation in the work of improving the
school”.
Elsbree (dalam
Syaifuddin, 2007) mengemukakan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat
memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas belajar dan pertumbuhan
anak.
2. Meningkatkan tujuan masyarakat dan meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat.
3. Mengembangkan antusiasme dalam membantu kegiatan
hubungan sekolah dengan masyarakat di sekitar sekolah.
Singkatnya, lingkungan
dan masyarakat sekitar sekolah adalah ekosistem pendidikan yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Esensi hubungan sekolah masyarakat
adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan
moral-finansial dari masyarakat. Masyarakat lingkungan juga merupakan sumber
daya pendidikan, laboratorium pendidikan, maupun sebagai penasehat pendidikan (Advidsory
council). Di sisi lain, masyarakat sebagai pelanggan yang dihasilkan oleh
sekolah.
i.
Iklim sekolah
Pelaksanaan MBS perlu didukung oleh iklim sekolah
(fisik dan nonfisik) yang kondusif-akademik yang merupakan prasyarat bagi
terselenggaranya proses belajar mengajar yang menyenangkan. Iklim yang demikian
akan mendorong terwujudnya proses pembelajaran yang efektif, yang lebih
menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar hidup bersama secara harmonis (learning to live together) (Mulyasa, 2005). Lingkungan sekolah yang aman dan
tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan
sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat
menumbuhkan semangat belajar siswa.
2.4 Tujuan
dan manfaat desentralisasi pendidikan di Indonesia
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses
pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah,
untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan masyarakat lokal secara terus
menerus, untuk mendekatkan sekolah dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan
akhirnya untuk memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain
itu, desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan kepada rakyat
atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga
pendidikan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang akan
bermanfaat bagi pembangunan daerah.
Desentralisasi pun mendorong terjadinya efisiensi manajemen
pendidikan, karena sebagian besar wewenang pengelolaan pendidikan, baik
perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan dan pengendalian penyelenggaraan
pendidikan diserahkan kepada pemerintah daerah, yang disesuaikan dengan
keadaan, kebutuhan, keinginan, dan kemampuan masing-masing daerah. Dengan
wewenang yang besar dalam pengelolaan pendidikan, pemerintah daerah pun
terdorong untuk menggali berbagai potensi daerah dan mendorong partisipasi
masyarakat untuk membantu membiayai pembangunan pendidikan di daerahnya.
Sebaliknya, partisipasi masyarakat dapat dibangkitkan jika manajemen pendidikan
di daerah atau sekolah dapat dilaksanakan secara efisien, transparan, dan
akuntabel, serta tanggap terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Desentralisasi pendidikan merupakan peluang bagi peningkatan mutu
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dengan kata lain, ia merupakan peluang
bagi peningkatan mutu pendidikan di setiap daerah. Hal ini karena perhatian
terhadap peningkatan mutu guru, peningkatan mutu manajemen kepala sekolah,
peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan menjadi
lebih baik jika dikelola oleh para pejabat pendidikan yang ada di daerah. Pada
akhirnya, tujuan desentralisasi pendidikan adalah pada pemerataan mutu
pendidikan yang meningkat.
2.5
Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah
Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan
satu bentuk desentralisasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di
lapangan. Jika lembaga dinas pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan
kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai fasilitator dan coordinator proses
pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka sekolah seharusnya
diberikan peran lebih nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan.
Bentuk desentralisai pendidikan yang paling mendasar
adalah dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan komite sekolah sebagai
wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen
berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara
nyata di dalam masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan
dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di
tingkat kabupaten/kota, dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikian, baik
di tingkat kabupaten/kota ataupun sekolah.
Amanat undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti
dengan Keputusan Menteri pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April
2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. dalam keputusan tersebut
dengan jelas disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah adalah :
1) Sebagai pemberi pertimbangan
2) Pendukung kegiatan layanan pendidikan
3) Pemantau kegiatan layanan pendidikan
4) Mediator atau penghubung tali komunikasi
antara masyarakat dengan pemerintah.
Beberapa urusan dalam bidang pendidikan yang secara
langsung dapat diserahkan kepada sekolah adalah sebagai berikut :
1) Menetapkan visi, misi, strategi,
tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah
2) Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa
baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru,
dan tenaga admistratif yang dimiliki.
3) Menetapkan kegiatan intrakurikuler dan
ekstrakurikuler yang diadakan dan dilaksanakn oleh sekolah. dalam hal ini,
dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusnya, sekolah
perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kkurikulum nasional dengan
kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum dengan meminta
pertimbangan kepada Komite Sekolah.
4) Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan,
termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan
standar dan ketentuan yang ada.
5) Penghapusan barang dan jasa dapat
dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan
oleh pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten.
6) Proses pengajaran dan pembelajaran. Ini
merupakan kewenangan professional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan
sekolah.
7) Urusan teknis edukatif yang lain sejalan
dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan
urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan sekolah.
2.6
Kelebihan dan kekurangan desentralisasi pendidikan
Berikut
kelebihan dari desentralisasi pendidikan
:
1) Peningkatan mutu, yaitu dengan
kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan
memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki
2) Efisiensi Keuangan hal ini
dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi
biaya operasional
3) Efisiensi Administrasi, dengan
memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur yang
bertingkat-tingkat
4) Perluasan dan pemerataan,
membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok sehingga terjadi
perluasan dan pemerataan pendidikan.
Adapun kelemahan yang mungkin timbul dalam implementasi kebijakan
desentralisasi pendidikan melalui UU Otonomi Daerah adalah :
1) Kurang siapnya SDM pada daerah
terpencil
2) Tidak meratanya pendapatan asli
daerah, khususnya daera-daerah miskin
3) Kurangnya perhatian
pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam
pengelolaan pendidikan
4) Otoritas pimpinan dalam hal ini
Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan
belum menjadi prioritas utama
5) kondisi dan setiap daerah tidak
memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan
perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Proses desentralisasi pendidikan di Indonesia sedang
berjalan dengan mencari bentuk yang diinginkan. Oleh karena itu, tarik ulur
kekuasaan dan kewenangan antara unit organisasi di pusat dan daerah masih
terjadi. Hal ini harus dimaknai sebagai proses penyelarasan dan penyesuaian,
agar desentralisasi pendidikan pada akhirnya dapat menemukan bentuk yang dapat
disepakati baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun pihak sekolah.
Berdasarkan uraian tersebut, tampak nyata bahwa dewasa
ini masih diperlukan adanya kejelasan tentang kekuasaan dan kewenangan semua
unit organisasi, dari pusat sampai ke sekolah. hal ini amat diperlukan agar
dalam pelaksanaannya tidak terjadi tumpang tindih dan tabrakan antara unit
organisasi. Selain itu, kejelasan tentang kekuasaan dan kewenangan untuk
masing-masing unit organisasi itu diperlukan dalam rangka efisiensi.
3.2
Saran
Sistem desentralisasi hendaknya lebih
diperhatikan dan ditegaskan oleh pemerintah, agar guru tidak hanya sebagai bahan
percobaan diadakannya sistem pendidikan. Sistem desentralisasi pendidikan
merupakan konsep otonomi sekolah, yang mengedepankan adanya semua hal diberikan
wewenang kepada sekolah, tetapi dengan masih adanya sistem sentralistik pada
ujian nasional, yang menentukan kelulusan siswa hanya ujian nasional. Hendaknya
pemerintah harus lebih mengedepankan wewenang sekolah dalam penentuan kelulusan
siswa. Harus lebih ada kejelasan kekuasaan
dan wewenang dari pemerintah untuk sistem desentralisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Mulyasa,
E. 2005. Menjadi Kepala
Sekolah Profesional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
-
Mulyasa, E. 2002. Manajemen
Berbasis Sekolah: Konsep Strategi, dan Implementasi.Bandung: Remaja Rosda
Karya.
-
Mark Hanson, 1997,
Educational Reform and The Transition From Authoritarian to democratic
Goverments: The Cases of Argentina, Colombia, Venezuela, and Spain, dalam
Internasional Jurnal of Educational Development, Vol 32, No.1.
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar