MAKALAH
SEJARAH HUBUNGAN AGAMA DAN SAINS
Disusun Oleh:
Nama Angga Abdul Malik
Prodi Manajemen
Pendidikan Islam
Semester 1(satu)
Mata Kuliah lmu Alamiah Dasar
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2013
KATA PENGANTAR
Puji
dan Syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan
baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini saya akan membahas
mengenai “SEJARAH HUBUNGAN AGAMA DAN SAINS”.
Makalah
ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai
pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah
ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Saya
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangun. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Karawang,
16 oktober 2013
Penulis
ANGGA ABDUL MALIK
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
belakang
PEMIKIRAN klasik telah mengondisikan agama dan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) sebagai dua dunia berbeda yang mesti terpisah keberadaannya.
Berabad-abad lamanya, hubungan historis antara agama dan iptek menunjukkan
'model perang'.
Dari perspektif agama, iptek adalah produk dunia yang harus
dihindari dan perlu menjaga jarak karena dianggap akan merusak doktrin agama.
Pendapat fundamental tokoh agama
akhirnya merasuk dan mempengaruhi pola perilaku setiap pemeluknya, sehingga
mereka menganggap iptek sebagai musuh berat. Hal ini terlihat dengan adanya
semacam pemahaman turun temurun dari generasi ke generasi untuk tidak mencurahkan perhatian lebih banyak kepada
iptek.
Tidak dapat disangkal, teori evolusi yang dipelopori Darwin tentang
manusia kera menuai kritik keras dari kalangan teolog atau tokoh agama. Teori
ini dianggap memberontak otoritas kitab suci. Teori Galile Galileo tentang
matahari sebagai pusat tata surya, mengakibatkan gereja kehilangan akal sehat.
Akibatnya, Galileo harus menerima hukuman dibakar hidup-hidup. Inilah
contoh konkret betapa bencinya agama
kepada iptek.
Hal serupa juga terjadi pada iptek. Tanpa ragu, iptek mengklaim
keberadaan agama jauh lebih rendah darinya. Agama dianggap kolot dengan argumen
irasionalnya yang tidak bisa diterima secara ilmiah. Iptek mengklaim, agama
hanya milik orang yang tidak mau berpikir dan terpenjara dalam gua tanpa
mendapatkan sinar/pencerahan. Klaim ini didasari bukti di mana agama tidak bisa
dikaji secara epistemologis dan ilmiah.Bayangkan! Apa jadinya, tatkala
keberadaan agama dan iptek terus saling menyalahkan ibarat anjing dan kucing.
Apakah betul iptek merupakan sesuatu yang
negatif, kafir dan bersifat duniawi? Apakah benar agama tidak boleh
bersahabat dengan iptek? Upaya Robert
untuk menjembatani agama dan iptek dalam bukunya 'Menjembatani Agama Dan Sains', merupakan
langkah bijak.
Paradigma kolot hendaknya ditinggalkan. Sekarang saatnya kita
meninjau ulang pola pikir yang dikondisikan demikian, sehingga diperoleh suatu
konsep baru yang mampu menempatkan agama dan iptek pada satu rak yang tidak
terpisahkan. Untuk membangun jembatan dapat dilakukan dengan meninjau ulang
latar belakang historis antara agama dan iptek. Artinya, kita mesti menggali,
menafsirkan dan membuka kembali bagian kitab suci yang berbicara tentang iptek.
Kalau mau jujur, pemikiran fundamental agamawan bukan bersumber
dari kitab sucinya. Sebab, kalau bersumber dari kitab suci, tidak akan terjadi
konflik antara agama dan iptek.
1
Dalam Kristen misalnya, dikatakan, manusia berkuasa atas ikan di
laut, burung di udara dan atas seluruh bumi. Allah memberi tugas kepada manusia
untuk menaklukkan alam semesta. Manusia diberi kebebasan untuk memanfaatkan
alam semesta, dengan catatan tetap menjaga kelestarian dan keutuhannya.
Dalam Islam pun demikian. Ketika kita meninjau tradisi ilmiah
Islam, muslim sangat berjasa terhadap orang Eropa. Orang Eropa mengenal sains
dari tradisi ilmiah Islam, dengan cara menerjemahkan
teks pokok dari Bahasa Arab ke Bahasa
latin. Islamlah ibu sains di Eropa. Tradisi ilmiah Islam yang banyak
diterjemahkan berasal dari karya Ibn Sina (980-1037), seorang guru besar sains
Islam yang namanya diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi Avicenna.
Beberapa karya Ibn Sina yaitu fisika dan filsafat dari kitab
al-Shifa (Buku Penyembuhan), kimia dan ilmu bumi, al-Qanum Fi'l Tibb (kanon
kedokteran yang digunakan sebagai teks dasar untuk mengajar kedokteran selama
tujuh abad di Timur dan Barat).
Mungkin tradisi ilmiah ini tidak cukup untuk membuktikan, Islam
sangat bersahabat dengan iptek. Oleh
karena itu, kita perlu menjajaki hubungan Alquran dan sains, daripada memperdebatkan
sesuai atau tidaknya antara Islam dan teori
evolusi. Kemudian mempelajari prinsip yang mendasari teori evolusi. Hal
ini berkaitan dengan kosmologi Islam yang menjelaskan modalitas ciptaan yang
mencakup dunia fisik dan nonfisik, di mana secara ontologi (wujud) eksistensi
berhubungan dan bergantung pada Allah.
Dalam Budha pun hubungan antara sains dan agama sangat mudah
disimpulkan, yakni saling mendukung. Sepanjang sejarah, ada beberapa contoh
proyek Budha yang didukung iptek. Bangunan kuil Todaiji (terbuat dari
konstruksi kayu terbesar di dunia) di ibukota Nara di Jepang, patung Budha
Vairocana (dari perunggu terbesar) merupakan beberapa produk iptek yang mendukung
proyek agama Budha.
Semua realitas ini mampu menuntun kita untuk memikir ulang konsep
yang selama ini menganggap agama dan iptek bermusuhan. Kalaupun ternyata iptek
menimbulkan hal negatif, tidak lain
karena manusia sendiri yang menyalahgunakannya. Jadi, kesalahan itu bukan ada
pada iptek, melainkan manusia.
Rumusan
masalah:
Rumusan
masalah makalah ini adalah:
1.Bagaimana
hubungan islam dan sains?
2.Bagaimana
pengembangan sains dalam islam?
2
BAB II
PEMBAHASAN
1.HUBUNGAN
ISLAM DAN SAINS
cerita
tentang hubungan antara Islam dan sains dapat dipandang dari berbagai
perspektif, mulai dari sosiologis ke sejarah dan dari metafisik ke ilmiah.
Metodologi yang digunakan untuk cerita ini tergantung tentang bagaimana
seseorang mempersepsi sifat hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, penting sekali memperhatikan keadaan awal di mana akan diceritakan
dalam buku ini.
Pertanyaan
tentang perspektif dan metodologi menjadi lebih penting dalam beberapa tahun
terakhir, karena sejumlah besar kerja teoritis diterbitkan oleh para sarjana
yang bekerja di bidang ilmu pengetahuan dan Kristen di Barat telah membentuk
suatu model tertentu untuk menyelidiki isu yang berkaitan dengan interaksi
antara ilmu pengetahuan dan agama, dan model ini tampaknya telah mendapatkan
penerimaan umum. Model ini dapat disebut “entitas dua model”, ilmu pengetahuan
dan agama dijadikan sebagai dua entitas yang terpisah. Kedua entitas ini yang
secara definitif berbeda kemudian terpisah satu sama lain dan memungkinkan
berbagai modus interaksi, seperti “konflik”, “independensi”, “dialog”, dan
“integrasi” (Barbour, 2000).
Bagaimanapun,
varietas ini adalah dalam model dua entitas; dengan kata lain, cara ini
menjelaskan hubungan antara sains dan agama dengan menganggap bahwa “ilmu” dan
“agama” adalah dua entitas terpisah yang memiliki sejumlah kemungkinan mode
interaksi. Masing-masing mode dapat dibagi lagi menjadi berbagai kemungkinan
klasifikasi dan dinilai menurut tingkat interaksi yang kuat atau lemah, tetapi
model itu sendiri masih berlabuh di dasar paradigma yang menganggap entitas dua
fenomena yang terpisah dan berbeda.
Model
dua entitas berkembang dari latar belakang budaya, sejarah, dan nilai ilmiah
tertentu, serta didukung oleh episode sejarah dari interaksi antara sains dan
Kristen di dunia Barat. Akan tetapi, sekarang sedang diklaim bahwa model ini
bersifat universal dan dapat digunakan untuk memahami hubungan antara semua
tradisi ilmiah dan semua agama (Barbour, 2002).
Walaupun
model ini telah dikritik karena memiliki kekurangan, kritik itu sendiri
sebagian besarnya masih dalam kerangka dua entitas (Cantor dan Kenny, 2001).
Karena ilmu pengetahuan seperti yang kita mengerti hari ini umumnya dianggap
buah dari Revolusi Ilmiah Eropa pada abad ketujuh belas dan karena tradisi
ilmiah ini secara khusus memiliki serangkaian konflik dengan Kristen, maka
“model konflik” mendapatkan kredibilitas di dunia ilmiah serta dalam pikiran
umum. Selain itu, karena ilmu pengetahuan diperanakkan oleh Revolusi Ilmiah
Eropa sekarang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, maka sejarah interaksi
antara ilmu pengetahuan dan agama juga disertai dengan pemahaman tersebut:
3
penyesuaian
hanya dianggap penting oleh agama Kristen, Islam, atau agama-agama lain di
dunia.
Salahnya
lagi, model ini diterapkan pula untuk interaksi historis antara berbagai agama
dan filsafat—misalnya, tradisi ilmiah Yunani, Romawi, dan Islam. Hal demikian
telah menjadi kebiasaan untuk mencari contoh konflik atau kooperatifnya antara
Islam dan tradisi ilmiah yang muncul dalam peradaban Islam. Pendekatan ini
tidak membuat perbedaan antara ilmu pengetahuan pramodern dan modern sejauh
landasan filosofis mereka tidak berbeda jauh, meskipun terdapat perbedaan
mendasar antara pandangan dunia yang melahirkan dua tradisi ilmiah.
Dengan
latar belakang ini, terlebih dahulu kita harus mengajukan pertanyaan mendasar:
apakah model dua entitas yang muncul dari latar belakang budaya, sejarah, dan
ilmiah tertentu benar-benar berlaku untuk semua agama dan semua tradisi ilmiah?
Model
ini hanya dapat berlaku untuk semua tradisi ilmiah dan keagamaan jika:
1)
Sifat
subyek ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Tuhan dan manusia harus
dipahami dengan cara yang sama dalam semua tradisi agama;
2)
Sumber
teks-teks dasar dari semua agama adalah sejajar dengan kitab sucinya dalam
struktur epistemologis, metafisik, dan semantik; dan
3)
Dasar-dasar
ilmu pengetahuan di semua peradaban adalah sebuah elemen yang tetap sama selama
berabad-abad.
Bagaimanapun,
pada saat sekarang istilah ilmu tidak memiliki definisi universal yang dapat
diterima (Ratzsch, 2000:11). Selanjutnya, pengertian alam maupun ilmu
pengetahuan atau hubungan timbal balik mereka diseragamkan di seluruh tradisi
keagamaan atau dalam tradisi tunggal selama berabad-abad. Model dua entitas
menjadi sangat bermasalah ketika kita mempertimbangkan perkembangan nilai dalam
sejarah filsafat ilmu. Kebanyakan filsuf sepakat bahwa apa yang sekarang kita
kenal dengan istilah ilmu bukan sebuah label homogen yang dapat diterapkan pada
penyelidikan alam dalam semua era dan semua peradaban: yaitu, istilah ilmu
terletak pada sejumlah konseptual khas peradaban yang dibentuk oleh etos
sosial, budaya, dan sejarah dari peradaban tertentu. Apa yang dikenal sebagai
ilmu pengetahuan hari ini umumnya dipahami sebagai entitas yang dimulai pada
abad ketujuh belas, dibangun di atas teori dan eksperimen spektakuler oleh
Galileo (1564-1642), Kepler (1571-1630), dan Newton (1642-1727), dan kemudian
mengakar kuat di lembaga-lembaga sosial, ekonomi, akademik, dan budaya
peradaban Barat. Bahkan, kemunculan tradisi ilmiah ini telah mengubah konsep
ilmu pengetahuan yang ada sebelum abad ke tujuh belas. Banyak sejarawan
kontemporer cenderung menyatakan ilmu pengetahuan yang muncul sebelum abad
ketujuh belas dengan istilah kegiatan ilmiah dan sejak dua ribu tahun pada masa
Yunani sebagai “Filsafat Alam”.
4
2.PENGEMBANGAN
SAINS DALAM ISLAM
Peradaban
Islam, khususnya sains pernah berjaya selama sekitar lima abad (abad ke-8
sampai 12) sehingga menjadi kiblat dari bangsa lain. Di antara faktor
penyebabnya adalah adanya patron ilmu (penguasa Islam) yang mendukung secara
material dan moral, luasnya jaringan perdagangan secara internasional, adanya
semangat pluralis dari penguasa dan ilmuwan, dan tingginya etos sains dari para
ilmuwan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah mengapa kemajuan sains ini
kemudian redup dan stagnan? Bahkan, ketika Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun
1798 dengan membawa sejumlah saintis dari berbagai cabang ilmu kondisi di Mesir
saat itu sangat memprihatinkan. Para ulama (sheikh) sama sekali tidak
menunjukkan semangat intelektual Islam yang dinamis sebagaimana ditunjukkan
oleh para saintis muslim di era keemasan. Ulama Mesir ketika itu larut dalam
dunia mistik dan kehilangan kreatifitas berpikirnya. Kondisi serupa juga dapat
dijumpai di dunia Islam yang lain seperti Benua Indo-Pakistan, Asia Tenggara,
dan Timur Tengah, meskipun ada beberapa pengecualian di beberapa wilayah
seperti Persia. Kondisi semacam ini berlangsung hingga kurun modern, padahal
sains dan teknologi menjadi tolok ukuran kemajuan peradaban suatu bangsa saat
ini.
Untuk mengembangkan sains dalam Islam pada era
globalisasi ini yang pertama perlu dilakukan adalah merekonstruksi sejarah
sains dalam Islam klasik secara menyeluruh, ketika peradaban Islam [dalam bidang
sains] mencapai era keemasan (al-’asr al-dhahaby). Rekonstruksi dilakukan
dengan terlebih dahulu memetakan permasalahan sains yang dihadapi umat Islam
saat ini. Dengan demikian, akan ditemukan faktor penyebab yang menjadikan sains
di dunia Islam kontemporer tertinggal dengan peradaban lain. Upaya rekonstruksi
perlu dilakukan, sebab dalam banyak hal umat Islam tidak cukup kritis dengan
sejarahnya sendiri, terutama tentang kemajuan sains pada era klasik. Bahkan,
sebagian orang masih belum dapat memisahkan antara wilayah normatif dan
historis tentang sains. Seakan-akan dengan datangnya Islam secara otomatis
sains juga berkembang. Pandangan idealis-normatif ini perlu dibenturkan dengan
kenyataan sejarah, bahwa proses pengembangan sains dalam Islam tidak berjalan
secara monolitik-linear, namun terjadi proses yang rumit dan kompleks sehingga
perlu pembacaan kritis dan hermeneutis atas fakta sejarah masa lalu.
Selanjutnya, bertolak dari rekonstruksi
sejarah sains dalam Islam itu pada akhirnya ditemukan bahwa kemajuan sains
dicapai ketika ada paradigma tauhid (tauhidic paradigm) dan etos sains yang
dimiliki oleh saintis. Selain itu, peran patron ilmu dan ketersediaan khasanah
sains pra-Islam juga mendukung pencapaian ini. Hal ini berujung pada cara
pandang umat Islam tentang agamanya. Untuk itu, umat Islam perlu melakukan
redefinisi tentang studi Islam; bahwa studi Islam (Islamic studies/dirasat
islamiyyah) bukan hanya mencakup al-‘ulum al-naqliyyah saja seperti fiqih,
kalam, tasawuf, tafsir dan hadis, namun juga al-‘ulum al-‘aqliyyah juga,
seperti sains, humaniora dan humanitis. Yang menjadi ukuran adalah paradigma
tauhid, bahwa semua ilmu yang terinspirasi dan didasarkan pada ajaran al-Qur’an
dan al-Sunnah, apa pun hasil kesimpulannya, maka termasuk kategori studi Islam.
5
Selain itu, dalam pemaknaan baru terhadap
studi Islam itu tidak ada dikotomi antara wilayah agama dan sains, namun
keduanya terintegrasi baik pada level ontologis, epistemologis maupun
aksiologis. Dalam pengembangan sains, paradigma bayani, burhani, dan ‘irfani
harus dilakukan secara terpadu, bahwa yang menjadi sumber pengetahuan sains
meliputi teks, realitas, dan pengalaman atau intuisi. Teks tidak sekedar ayat
al-Qur’an dan matan hadis saja, namun juga mencakup referensi ilmu peninggalan
saintis muslim ataupun non-muslim. Sementara itu, realitas terkait dengan
fenomena alam sekitar yang selalu berubah dan kontekstual. Sedangkan pengalaman
memungkinkan saintis bersikap empatik dan menghargai keragaman pendapat yang
dihasilkan oleh saintis lain. Untuk itu, sikap inklusif dan pluralis perlu
lebih dikepedankan ketimbang penghakiman dan klaim kebenaran sepihak.
Ketiga, paling tidak ada tiga strategi yang
dapat dilakukan untuk mengembangkan sains dalam Islam kontemporer, yaitu
pergeseran paradigma (shifting paradigm) sains di perguruan tinggi, kemauan
politik (political will) penguasa, dan institusioalisasi etos sains. Pertama,
paradigma yang dimaksud adalah cara pandang terhadap sains dalam Islam yang
merupakan bagian integral dari studi Islam, baik secara ontologis,
epistemologis maupun aksiologis. Tanpa paradigma ini pengembangan sains dalam
Islam hanya sebagai justifikasi temuan sains dan teknologi dengan ayat dan
hadis. Sebab, paradigma ini meniscayakan tidak lagi memisahkan wilayah sains
dalam posisi yang diametral dengan agama. Bahwa secara ontologis, untuk
memahami Tuhan dapat dilakukan melalui ayat-ayat qawliyah dan kawniyah. Kedua,
pengembangan sains sangat dipengaruhi oleh adanya patron ilmu, terutama oleh
penguasa, yang diwujudkan dalam bentuk dukungan dana dan pembuatan kebijakan
yang pro-sains dan teknologi. Ketiga, perlunya institusionalisasi etos sains,
yaitu universalisme, komunalisme, organized skepticism, dan disinterestedness,
di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga sains dan teknologi lainnya. Wujud
dari pelembagaan etos ini atara lain berupa kegiatan konkrit pengembangan sains
seperti pengumpulan referensi pokok sains, kegiatan penelitian sains dan
teknologi secara terstruktur dalam desain yang jelas, penghargaan terhadap
saintis, dan berbagai forum ilmiah penunjang lainnya misalnya diskusi, seminar,
lokakarya, simposium, sampai penelitian. Melalui lembaga ini juga perlu
dibentuk lembaga riset dan pengadaan laboratorium yang representatif.
Akhirnya, membangun jaringan keilmuan antar
saintis dan lembaga sains dari mana pun harus dilakukan. Adanya jaringan yang
luas memungkinkan terjadinya dialog dan tukar-menukar ilmu pengetahuan dan
teknologi, baik dari sisi sumber daya manusia, literatur ataupun peralatan.
Untuk dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain ini diperlukan paradigma
pengelola lembaga yang terbuka, moderat, dan pluralis tanpa mengorbankan
identitas keislaman yang membawa kerahmatan bagi seluruh alam (islam rahmatan
li al-’alamin).
6
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas penulis menyimpulkan bahwa:
1.
Semua realitas ini mampu menuntun kita untuk memikir ulang konsep
yang selama ini menganggap agama dan iptek bermusuhan. Kalaupun ternyata iptek
menimbulkan hal negatif, tidak lain
karena manusia sendiri yang menyalahgunakannya. Jadi, kesalahan itu bukan ada
pada iptek, melainkan manusia.
2.
Sains dan teknologi adalah simbol kemodernan. Akan tetapi, tidak
hanya karena modern, kemudian kita mengabaikan agama sebagaimana yang terjadi
di Barat dengan ideologi sekularisme. Karena sains dan teknologi tidak akan
pernah bertentangan dengan ajaran Islam yang relevan di setiap zaman.