Metode takhrij hadis
a. Takhrij dengan mengetahui nama shahabat Nabi sebagai
perawi hadits pertama.
Metode ini digunakan apabila nama shahabat Nabi yang
menjadi rawi pertama itu tercantum pada hadits yang akan ditakhrij. Apabila
nama shahabat tersebut tidak tercantum dalam hadits itu dan tidak dapat
diusahakan untuk mengetahuinya, maka sudah barang tentu metode ini tidak dapat
dipakai. Apabila nama shahabat tercantum pada hadits tersebut, atau tidak
tercantum tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dalam mencarinya
menggunakan tiga macam kitab, yaitu :
(1.) Kitab-kitab Musnad
(2.) Kitab-kitab Mu’jam
(3.) Kitab-kitab Athraf.
Sebagai contoh penggunaan metode ini adalah sebagai
berikut : misalnya kita akan mentakhrij sebuah hadits nabi yang diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda :
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - ثَلاَثَ عَشْرَةَ
رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
Artinya:
Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari
adalah 13 raka’at (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764)
Rawi pertama yang membawakan hadits ini adalah Ibnu
Abbas, maka jika kita menggunakan metode ini hendaknya mencari nama Abdullah
bin Abbas dalam kitab-kitab musnad, mu’jam dan athraf.
Keunggulan metode ini adalah cepat sampai pada sahabat
yang meriwayatkan hadis karena alfabetis. Sedangkan kekurangannya adalah
lamanya pencarian sampai pada hadits yang dicari jika sahabat tersebut banyak
meriwayatkan hadits. Selain itu kita belum bisa menentukan apakah riwayat yang
dibawakannya itu shahih atau tidak.
b. Takhrij dengan mengetahui teks matan Hadits
Metode ini paling mudah digunakan, karena dengan
mengetahui teks suatu hadits seorang pentakhrij dapat menelusuri riwayat
tersebut. Hal ini didasarkan isi redaksi atau teks hadits yang akan ditakhrijnya,
tentunya dengan bantuan dari matan (isi) riwayat tersebut. Misalnya sebuah
hadits yang berbunyi من
غشانا فليس منا Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari hadits
dengan awal kata tersebut, karena lafadz pertamanya adalah من , maka pentakhrij harus mencarinya pada bab mim ( م ). Langkah kedua mencari huruf nun ( ن ) setelah mim ( م ) tersebut. Ketiga, mencari huruf-huruf selanjutnya yang
mengiringinya, yaitu ghain ( غ ), dan
demikian seterusnya.
Metode ini hanya menggunakan kitab penunjuk, yaitu :
“Al-Mu’jam al-Mufarhas li alfazh al-Hadits al-Nabawi”. Kitab ini merupakan
susunan orang orientalis barat yang bernama Dr. A.J. Wensink, Dr. Muhamad Fuad
‘Abd al-Baqi. Kitab-kitab yang jadi rujukan dari kitab ini adalah kitab yang
Sembilan, diantaranya : Shahih Bukhari, shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan
Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan
Sunan ad-Darimi.
Dalam menjelaskan kualitas hadits, kitab ini menggunakan
rumus-rumus sebagai berikut: صح untuk hadits
berkualitas shahih; ح untuk hadits
berkualitas hasan; dan ض untuk hadits
berkualitas dla'if. Sedangkan untuk kode mukharrij dari hadits yang
bersangkutan digunakan kode خ untuk Bukhari,
م untuk Muslim, حم untuk Ahmad, ت untuk
Turmuzhi.
Selain itu kitab-kitab yang dapat digunakan untuk
mentakhrij dengan metode ini di antaranya adalah al-Jami' al-Kabir karya Imam
Suyuthi, al-Jami' al-Azhar karya al-Manawi, al-Jami' al-Shaghir min Hadits
al-Basyir al-Nazhir karya Jalaluddin al-Suyuthi.
Dalam kitab al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir
al-Nazhir, Jalaluddin al-Suyuthi menghimpun dan menyusun hadits-hadits yang
diatur berdasarkan urutaan huruf hijaiyyah, mulai dari huruf alif, ba', ta',
dan seterusnya.
Dengan menggunakan metode ini, memungkinkan pentakhrij
untuk cepat menemukan hadits yang dicari. Kesulitan yang mungkin dijumpai
adalah apabila terdapat perbedaan lafadz pertama, seperti hadits yang berbunyi:
إذا اتــاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه
Menurut bunyi hadits di atas, lafadz pertamanya adalah إذا اتــاكم Tetapi, bila lafadz pertama yang kita ingat adalah لو اتــاكم, akan sulit menemukan hadits itu karena adanya perbedaan lafadz
tersebut. Demikian juga apabila lafadz yang kita jumpai berbunyi إذا جاءكم , sekalipun semuanya memiliki pengertian yang sama.
Keunggulannya dari metode ini adalah walaupun tidak hafal
semua hadits, dengan lafal pertama saja dapat dengan cepat menyampaikan pada
hadits yang dicari. Selain itu pentakhrij juga akan menemukan hadis lain yang
tidak menjadi objek pencarian dan mungkin dibutuhkan sehingga akan menambah
perbendaharaan haditsnya. Adapun kelemahan metode ini adalah jika lafal yang
dianggap awal hadis ternyata bukan awal hadist yang dicari sehingga tidak akan
ditemukan. Selain itu jika terjadi penggantian lafal yang diucapkan Rasulullah
juga tidak akan menyampaikan seorang pentakhrij kepada hadits yang ditakhrijnya
tersebut.
c. Takhrij dengan mengetahui tema hadits
Dengan mengetahui suatu tema dari suatu hadits kita dapat
melihat di mana hadits tersebut dikeluarkan. Metode ini akan mudah digunakan
oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadits. Orang yang awam akan
hadits akan sulit untuk menggunakan metode ini. Karena yang dituntut dari
metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu hadits yang akan
ditakhrijnya. Menurut Mahmud Thahhan metode ini digunakan untuk orang-orang
yang mempunyai instink dalam menyimpulkan sebuah tema dari suatu hadits.
Walaupun demikian setaip orang yang memiliki azzam untuk mentakhrij suatu
riwayat bisa saja menggunakan metode ini.
Metode ini menggunakan beberapa jenis kitab yang dapat
dijadikan alat untuk melacak suatu riwayat. Di antara kitab-kitab tersebut
adalah :
1. Kitab-kitab yang membahas seluruh masalah keagamaan dalam
bentuk Al-Jawami’, al-mustakhrajat, al-mustadrakat, al-majami’, al-zawa’id,
miftah kunuz al-sunnah. Di antara kitab yang menjadi rujukan adalah :
Al-Jami’ al-shahih karya Bukhari
Al-Jami’ al-shahih karya Muslim
Al-jami’ Abdurrazaq
Pada dasarnya takhrij dengan menggunakan metode ini
bersandar pada pengenalan tema hadits. Setelah kita menentukan hadits yag akan
kita takhrij, maka langkah selanjutnya yakni menyimpulkan tema hadits tersebut.
Kemudian kita mencarinya melalui tema ini pada kita-kitab metode ini.
Kerap
kali suatu hadits memiliki tema lebih dari satu. Sikap yang harus kita lakukan
pada hadits yang seperti ini mencarinya pada tema-tema yang dikandungnya.
Contohnya :
عَنْ
أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ
عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ
اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ.
رواه الترمذي ومسلم
Artinya:
“Islam dibangun atas lima dasar yaitu,
syahadat (kesaksian) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa bulan
ramadhan”. HR Thirmidzi dan Muslim.
Hadits ini dicantumkan pada kitab iman, tauhid, shalat,
zakat, puasa, dan haji. Untuk itu kita harus mencarinya pada kitab tema-tema
tentang ini. Sangatlah jelas bahwa metode ini sangat mendasar metodenya pada
pengenalan tema hadits. Ketidak tahuan metode ini akan menyulitkan proses
takhrij.
Metode tema hadits tidak membutuhkan
pengetahuan-pengetahuan lain di luar hadits seperti keabsahan lafal
pertamanya,sebagaimana metode pertama,
pengetahuan bahasa arab denga parubahan-perubahanya katanya sebagaimana
metode yang kedua, dan pengenalan perawi teratas sebagaimana metode yang
ketiga. Yang dituntut pada metode ini ialah pengetahuan akan kandungan haduts.
Hal ini sangtalh logis dalam mempelajari etode ini.
Selain itu metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits
pada dri penelti. Seorang peneliti setelah menggunakan metode ini beberapa kali
akan memiliki kemampuan yang bertambah terhadap tema dan maksud hadits yang
merupakan Fiqh Hadits. Selain itu ia juga memperkenalkan kepada peneliti maksud
hadits yang dicarinya dan hadits-hadits yang senada dengannya. Ini tentunya
akan menambah kesemangatan dan membantu memperdalam masalah.
Adapun kekurangan dari metode ini adalah terkadang
kandungan hadits sulit disimpulkan oleh seorang peneliti hingga tidak dapat
menentukan temanya’ sebagai akibatnya pentakhrij tidak mungkin menggunakan
metode ini. Demikian juga terkadang pemahaman peneliti tidak sesuai dengan
penyusun kitab. Sebagai akibatnya penyusun kitab meletakkan hadits pada posisi
yang tidak diduga oleh peneliti tersebut. Contoh ini banyak sekali, seperti
hadits yang semula oleh peneliti disimpulkan sebagai hadits peperangan ternyata
pada penyusunannya terletak pada hadits tafsir.
Kendati demikian, kedua kekurangan ini akan hilang dengan
sendirinya dengan memperbanyak menela’ah kitab-litan hadits. Penela’ahan dengan
berulang-ulang akan menimbulkan pengetahuan tentang metode para ulama dan tata
letak tema hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar