PSIKOLOGI ANALISIS CARL GUSTAV JUNG
DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK
2 : ANGGA
ABDUL MALIK
TETY
SETIAWATY
DAMAYANTI
MATA
KULIAH : PSIKOLOGI KEPRIBADIAN
PRODI
: MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEMESTER
: IV
(EMPAT)
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS NEGERI SINGAPERBANGSA KARAWANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji
serta rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang terus menerus
tanpa berhenti sedikitpun memberikan dan
melimpahkan rahmat dan nikmatnya yang tidak terhitung kepada penulis. Terutama
nikmat iman, islam dan kesehatan serta kekuatan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ini. Penulis meyakini bahwa penulisan karya tulis
ini, mustahil selesai tanpa pertolongan dan bimbingan Allah SWT. Salawat serta
salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada sang panutan Nabi Muhammad
SAW beserta keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia
mengikuti ajarannya hingga akhir zaman.
Penulis
sadar bahwa karya tulis ini masih sangat sederhana dan jauh dari kata sempurna.
Memang tidak mudah bagi penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini, karena
banyak hambatan dan tantangan yang harus penulis hadapi baik dari faktor
internal maupun eksternal. Maka disinilah pertolongan Alla SWT dan peran orang-orang
terdekat yang dapat memberikan pemikiran dan motivasi, serta dukungan semua
pihak penulis rasakan.
Penulis
juga tidak lupa memohon untuk dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya jika
dalam penulisan ini terdapat hal yang tidak berkenan. Namun demikian penulis
berharap semoga karya tulis ini bermanfaat bagi diri pribadi khususnya dan para
pembaca umumnya.
|
|
Karawang,
26 April 2015
Penulis
& Penyusun,
Kelompok
2
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Carl Gustav Jung
lahir pada tanggal 26 Juli 1875 di sebuah desa kecil di Swiss bernama Kessewil.
Ayahnya bernama Paul Jung, seorang pendeta desa dan ibunya bernama Emilie
Preiswerk Jung. Ida lahir di tengahkeluarga besar yang
cukup pendidikan. Di antara anggota keluarga besar Jung senior, ada yang jadi
pendeta dan punya pikiran yang eksentrik.
Jung senior mulai
mengajari Jung bahasa latin ketika dia berumur 6 tahun, dan inilah yang menjadi
awal minatnya pada bahasa dan sastra –khususnya sastra kuno. Di samping
bahasa-bahasa Eropa Barat modern, Jung dapat membaca beberapa bahasa kuno,
termasuk Sanskerta.
Semasa remaja, Jung adalah seorang
yang penyendiri, tertutup dan sedikit tidak peduli dengan masalah sekolah,
apalagi dia tidak punya semangat bersaing. Dia kemudian dimasukkan ke sekolah
asrama di Basel, Swiss. Di sini, dia merasa tertekan karena dicemburui oleh
teman-temannya. Lalu dia mulai sering bolos dan pulang ke rumah dengan alasan
sakit.
Walaupun awalnya
bidang yang dia pilih adalah arkeologi, namun dia masuk ke fakultas kedokteran
di University of Basel. Karena bekerja bersama neurolog terkenal, Kraft-Ebing,
dia kemudian menetapkan psikiatri sebagai karier pilihannya.
Setelah lulus, dia
bekerja di Burghoeltzli Mental Hospital di Zurich di bawah bimbingan Eugene
Bleuler, seorang pakar dan penemu skizofrenia. Tahun 1903, dia menikahi Emma
Rauschenbach. Dia juga mengajar di University of Zurich, membuka praktik
psikiatri dan menemukan beberapa istilah yang masih tetap dipakai sampai
sekarang.
Jung sangat mengagumi
Freud, dan berkesempatan bertemu pada tahun 1907.Tahun 1907 pertemuan pertama dengan Freud yang terjadi di
Wina membuat tali persaudaraan antara mereka. Freud begitu menaruh kepercayaan
pada Jung, sehingga Jung dianggap sebagai seorang yang patut menggantikan Freud
di kemudian hari. Jung terkenal dengan pengetahuannya tentang simbolisme dalam
tradisi mistik, seperti Gnostisisme, Alkemi, Kabala dan tradisi-tradisi serupa
dalam agama Hindu dan Buddha. Ia adalah orang yang bisa mengetahui sisi alam
bawah sadar yang memperlihatkan diri dalam wujud-wujud simbolik.
Berbeda dengan teori Freud tentang
kepribadian yang lebih bersifat mekanistis dan berdasar ilmu alam, konsep
analitis Jung mengenai kepribadian menunjukkan usahanya untuk
menginterpestasikan tingkah laku manusia dari sudut filsafat, agama dan mistik.
Sebagai penulis, Jung sangat produktif. Tulisannya banyak dan bidang orientasinya
luas, sedang pendapatnya selalu berkembang. Oleh karena itulah maka teori Jung
sebagai kesatuan tidak mudah dipahami. Bila disederhanakan, teori tersebut
dapat dimengerti dalam rangka struktur, dinamika, serta perkembangan
kepribadian (psyche).
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
a) Bagaimana struktur kepribadian menurut Carl
Gustav Jung?..
b) Bagaimana dinamika kepribadian menurut Calr
Gustav Jung?..
c) Bagaimana perkembangan kepribadian menurut
Carl Gustav Jung?..
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:
Selain untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Psikologi Kepribadian, juga untuk,
a) Mengetahui dan memahami struktur kepribadian
menurut Calr Jung.
b) Mengetahui dan memahami dinamika kepribadian
menurut Calr Gustav Jung.
c) Mengetahui dan memahami perkembangan
kepribadian menurut Carl Gustav Jung.
D. Manfaat penulisan
Sebagai
tambahan khasanah keilmuan yang kita punya khususnya dalam bidang ilmu Psikologi
Kepribadian dan untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan di Bumi Pertiwi ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Struktur kepribadian (Psyche)
Yang dimaksud dengan psyche ialah
totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari maupun yang tidak disadari.
Namun, tidak seperti Freud, Jung menegaskan bahwa kebanyakan porsi terpenting
alam bawha sadar bermuara bukan dari pengalaman-pengalaman pribadi individual
namun dari eksistensi manusia yang jauh di masa lalu, sebuah konsep yang
disebut Jung sebagai alam bawah sadar kolektif. Jadi bagi Jung, alam bawah
sadar dan alam bawah sadar personal tidak begitu diprioritaskan. Menurut Jung,
jiwa manusia terdiri dari dua alam, yaitu:
1.
Alam sadar (kesadaran)
2.
Alam tidak sadar (ketidaksadaran)
Fungsi keduanya adalah
penyesuaian. Alam sadar sebagai penyesuaian terhadap dunia luar, sedangkan alam
tak sadar sebagai penyesuaian terhadap dunia dalam. Batas antara kedua alam itu
tidak tetap, dapat berubah. Maksudnya, luas daerah kesadaran atau ketidaksadarn
itu dapat bertambah atau berkurang. Dalam kenyataannya, daerah kesadaran itu
hanya merupakan sebagian kecil saja dari alam kejiwaan.
1.
Struktur Alam Sadar (kesadaran)
Kesadaran adalah pusat dari ego
yang terdiri dari ingatan, pikiran dan perasaan.[1] Ego inilah yang memberi petunjuk bagaimana individu
berperilaku. Ego berisi persepsi-persepsi dan perasaan-perasaan sadar.Ada tiga
komponen pokok kesadaran, yaitu sebagai berikut.
a.
sikap jiwa
Jung mendefinisikan sikap sebagai
kecenderungan untuk berinteraksi atau bereaksi ke arah yang khas.[2] Jung melihat bahwa orang memiliki sikap yang
terintrovesi sekaligus terekstraversi.
Ø Introversi
Menurut Jung, introversi adalah
membalikkan energi psikis ke dalam sebuah orientasi terhadap subjektivitas.
Orang yang introver selalu mendengarkan dunia batin mereka dengan semua bias,
fantasi, mimpi, dan persepsi yang terinduvidualisasikan. Segala yang
dilakukannya didasarkan pada pandangan subjektif mereka.
Ø Ekstraversi
Berlawanan dengan introversi,
ekstraversi adalah sikap yang mengarahkan energi psikis keluar sehingga
seseorang diorientasikan menuju sesuatu yang objektif dan menjauh dari sikap
yang subjektif. Orang yang ekstrover lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan
sekitar mereka daripada dunia batin mereka sendiri. Tidak semua manusia
intorver total atau ekstrover total. Seorang introver mirip jungkat-jungkit
yang tidak seimbang karena lebih berat pada sisi introver dan lebih ringan sisi
ekstrover, begitu pun sebaliknya. Sementara orang yang sehat secara psikologis
mencapai keseimbangan pada dua sikap ini. Freud secara pribadi merupakan
seorang yang introver selalu menyesuaikan diri dengan mimpi-mimpi dan kehidupan
fantasinya dalam kesendirian. Namun Jung melihat bahwa teori Freud bersifat
ektrover karena dia mereduksi pengalaman-pengalaman manusia hanya kepada dunia
eksternal seks dan agresi. Jung, tentunya, melihat terorinya sendiri sebagai
teori yang seimbang, sanggup menerima baik sisi objektif maupun subjektif.
b.
fungsi jiwa
Jung memaksudkan fungsi jiwa sebagai suatu
bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tiada berubah dalam lingkungan yang
berbeda-beda. Jung membedakan empat fungsi pokok menjadi dua, yakni rasional
dan irasional. Rasional bekerja dengan penilaian: pikiran menilai benar-salah,
dan perasaan menilai atas dasar menyenangkan-tidak menyenangkan. Sedangkan
irrasional semata hanya mendapat pengamatan: pendirian mendapatkan pengamatan
dengan sadar-indriah, dan intuisi mendapatkan pengamatan secara tak sadar-
naluriah. Keempat fungsi itu dimiliki oleh manusia, namun biasanya hanya salah
satu saja yang paling berkembang. Fungsi yang berkembang itu merupakan fungsi
superior dan menentukan tipe orangnya, jadi ada tipe pemikir, perasa, pendria,
dan intuitif.[3]
Ø Berpikir (Thinking)
Berpikir ialah intelektual logis
yang menghasilkan rantai ide-ide. Tipe berpikir bisa bersifat ekstrover atau
introver, tergantung sikap dasar seseorang. Orang yang berpikir secara
ekstrover sangat mengandalkan pikiran-pikiran konkret, namun mereka bisa juga
menggunakan ide-ide abstrak jika ide-ide ini dipancarkan kepada mereka dari
luar. Orang yang berpikir secara introver bereaksi terhadap stimuli eksternal,
namun interpretasi mereka mengenai suatu peristiwa lebih diwarnai oleh makna
internal yang mereka berikan kepada stimuli tersebut daripada oleh fakta-fakta
objektif itu sendiri.
Ø Perasaan (Feeling)
Jung menggunakan istilah perasaan
untuk menggambarkan proses mengevaluasi suatu ide atau peristiwa. Fungsi
perasaan harus dibedakan dari emosi. Perasaan adalah pengevaluasian setiap
aktivitas sadar, bahkan terhadap hal-hal yang dinilai sebagai sesuatu yang
tidak begitu disukai. Kebanyakan evaluasi ini tidak memiliki kandungan emosi,
namun mereka sanggup menjadi emosi jika intensitasnya meningkat sampai ke titik
penstimulasian perubahan- perubahan fisiologis dalam diri seseorang.
Ø Pengindraan (Sensing)
Fungsi yang menerima stimuli fisik
dan mentransmisikannya ke alam sadar perseptual disebut sensasi atau
pengindaraan. Orang yang mengindera secara ekstrover memahami stimuli eksternal
secara objektif, kebanyakan sama dengan stimuli yang eksis dalam realitas.
Orang yang mengindera secara introver sebagian besar terpengaruh oleh
sensai-sensasi subjektif.
Ø Pengintuisian (Intuiting)
Intuisi melibatkan persepsi yang
melampaui kerja kesadaran. Pengintuisian didasarkan pada serangkaian fakta yang
menyediakan materi bagi pikiran dan perasaan.
c.
Pesona
Persona ialah sisi kepribadian
yang ingin ditunjukkan manusia kepada dunia. Persona merupakan kompromi antara
individu dan masyarakat, antara struktur batin sendiri dengan tuntutan-tuntutan
sekitar mengenai bagaimana seharusnya orang berbuat.[4] Bila orang dapat menyesuaikan diri ke dunia luar dan
dunia dalam dengan baik, maka persona itu akan merupakan selubung yang elastis,
yang dapat dengan lancar digunakan. Sebaliknya, jika penyesuaian itu tidak
baik, maka persona dapat merupakan topeng yang kaku untuk menyembunyikan
kelemahannya.
2.
Struktur ketidaksadaran
ketidaksadaran sebagai suatu
lapisan psikologi yang mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan manusia. Menurut
Jung ketidaksadaran punya dua lapisan yaitu sebagai berikut.
a. personal uncociousness (ketidaksadaran
pribadi)
Personal uncociousness mencakup
segala sesuatu yang tidak disadari secara langsung, tapi bisa diusahakan untuk
disadari.[5] Ketidaksadaran pribadi adalah alam bawah sadar seperti
yang dipahami orang kebanyakan, yaitu mencakup kenangan-kenangan yang dapat
dibawa ke alam sadar dengan mudah serta kenangan-kenagan yang ditekan karena
alasan-alasan tertentu. Dan pada saat tertentu, ketidaksadaran pribadi ini bisa
muncul kembali ke kesadaran dan mempengaruhi tingkah laku.
b. collective uncociousness (ketidaksadaran
kolektif)
Collective uncociousness adalah
sistim yang paling berpengaruh terhadap kepribadian dan bekerja sepenuhnya di
luar kesadaran orang yang bersangkutan. Sistim ini merupakan pembawaan rasial
yang mendasari kepribadian dan merupakan kumpulan pengalaman-pengalaman dari
generasi- generasi terdahulu.[6] Contoh ketidaksadaran kolektif adalah pengalaman kreatif
para seniman atau musisi di seluruh dunia dari sepanjang masa, pengalaman
mistikus dalam seluruh agama, kemiripan dalam mimpi, fantasi, mitologi,
dongeng, sastra, atau pengalaman mati suri. Isi dari ketidaksadaran kolektif
menagaktifkan dan memengaruhi pikiran, emosi, dan tindakan seseorang. Alam
bawah kolektif bertanggung jawab pada banyak mitos, legenda, dan keyakinan
religius manusia. Ketidaksadaran kolektif tentunya tidak disadari. Sehingga
akan membuat kita bertanya-tanya mengenai bagaimana orang dapat mengetahui atau
menyadari ketidaksadaran tersebut. Ketidaksadaran tersebut diperoleh secara
tidak langsung, yaitu melalui manifestasi ketidaksadaran yang berbentuk gejala
dan kompleks, mimpi, dan arketipe.
Ø Gejala dan Kompleks
Kedua hal ini masih dapat
disadari. Symptom adalah “gejala dorongan” dari jalannya energi yang normal,
yang dapat berbentuk symptom kejasmanian maupun kejiwaan. Symptom adalah tanda
bahaya yang memberitahu bahwa ada sesuatu dalam kesadaran yang kurang, sehingga
perlu perluasan ke alam bawah sadar. Sedangkan yang dimaksud dengan kompleks
adalah bagian kejiwaan kerpribadian yang telah terpecah dan lepas dari kontrol
kesadaran dan kemudian memiliki kehidupan sendiri dalam kegelapan alam
ketidaksadaran, yang kemudian dapat menghambat prestasi bagi alam kesadaran.[7]
Ø Mimpi, Fantasi, dan Khayalan
Mimpi memiliki hukum dan bahasa
sendiri. Di dalam mimpi, soal-soal sebab-akibat, ruang dan waktu tidak berlaku,
bahasanya bersifat lambang dan karenanya untuk memahaminya perlu ditafsirkan.
Bagi Jung, mimpi memiliki fungsi konstruktif, yaitu mengkompensasikan
keberatsebelahan dari konflik. Mimpi sering merupakan manifestasi daripada
ketidaksadaran kolektif. Selain mimpi, Jung juga mengemukakan pula fantasi dan
khayalan sebagai bentuk manifestasi ketidaksadaran.
Ø Arketipe
Arketipe, yaitu
kecenderungan-kecenderungan yang universal dan merupakan pembawaan pada manusia
yang menyebabkan manusia bertingkah laku dan mengalami hal-hal yang selamanya
terulang.[8] Misalnya : kelahiran, kematian, mengahdapi bahya dll.
Konsep archetipe sama dengan
insting dalam konsep Freud. Tiga archetipe yang paling penting menurut Jung
adalah anima, animus, shadow.
· Anima Adalah unsur feminim atau unsur
kewanitaan, khususnya pada orang laki-laki.[9] Anima biasanya dipersonoifikasikan sebagai gadis kecil,
yang spontan sebagai nenek sihir. Anima lebih di asosiasikan dengan kedalaman
perasaan dan kekuatan hidup itu sendiri.
· Animus Adalah unsur maskulin atau unsur laki-laki,
khususnya pada wanita.[10] Animus dipersonifikasikan sebagai orang bijak, seorang
dukun atau sekawanan pria yang mempunyai kecenderungan sifat logis,
rasionalistik dan argumentatif. Anima dan animus adalah archetipe yang dipakai
ketika berkomunikasi dengan alam bawah sadar kolektif dan berperan penting
ketika ingin menyelaminya. Anima dan animus juga merupakan archetipe yang
paling bertanggung jawab atas kehidupan cinta kita.[11] Misalnya ketika kita jatuh cinta pada pandangan pertama
itu berarti kita menemukan seseorang yang bisa mengisi archetipe anima atau
animus kita.
· Shadow Shadow (bayangan) adalah archetipe
kebinatangan atau disebut pula sisi jahat manusia.[12] Pada dasarnya, bayangan bersifat amoral-tidak baik,
tidak buruk, persis seperti binatang. Jadi, ego meupakan pusat dan merupakan
tempat kontak dengan dunia luar mempunyai tugas untuk mengadakan keseimbangan
antara tuntutan dari luar dengan dorongan-dorongan yang datang dari
ketidaksadaran pribadi maupun ketidaksadaran kolektif.
Dalam tugasnya ini, ego sampai
batas-batas tertentu dapat pula mengontrol ketidaksadaran pribadi. Tetapi ego
tidak mempunyai kekuatan apapun untuk mempengaruhi ketidaksadaran kolektif,
bahkan egolah yang dipengaruhi oleh dorongan-dorongan dari ketidaksadaran
kolektif itu.
B. Dinamika Kepribadian (Psyche)
Menurut Jung menyatakan bahwa
kepribadian atau psyche bersifat dinamis dengan gerak yang terus-menerus.
Dinamika psyche tersebut disebabkan oleh energi psikis yang oleh Jung disebut
libido. Dalam dinamika psyche terdapat prinsip-prinsip sebagai berikut[13] (Alwisol, 2005 : 65):
a.
Prinsip oposisi
Berbagai sistem, sikap, dan fungsi
kepribadian saling berinteraksi dengan tiga cara, yaitu : saling bertentangan
(oppose), saling mendukung (compensate), dan bergabung menjadi kesatuan
(synthese). Menurut Jung, prinsip oposisi paling sering terjadi karena
kepribadian berisi berbagai kecenderungan konflik. Oposisi juga terjadi antar
tipe kepribadian, ekstraversi lawan introversi, pikiran lawan perasaa, dan
penginderaan lawan intuisi.
b.
Prinsip kompensasi
Prinsip ini berfungsi untuk
menjada agar kepribadian tidak mengalami gangguan. Misalnya bila sikap sadar
mengalami frus-trasi, sikap tak sadar akan mengambil alih. Ketika individu
tidak dapat mencapai apa yang dipilihnya, dalam tidur sikap tak sadar mengambil
alih dan muncullah ekpresi mimpi.
c.
Prinsip penggabungan
Menurut Jung, kepribadian
terus-menerus berusaha menyatukan pertentangan-pertentangan yang ada agar
tercapai kepribadian yang seimbang dan integral.
C. Perkembangan Kepribadian
Jung meyakini bahwa kepribadian berkembang
lewat serangkaian tahapan yang memuncak pada individualisasi atau realisasi
diri. Jung mengelompokkan tahap hidup menjadi empat bagian yaitu sebagai
berikut.
a.
Masa Kanak-kanak
Masa kanak-kanak oleh Jung dibagi
menjadi tiga bagian yaitu anarkis, monarkis, dan dualistis.
Ø Fase anarkis dicirikan oleh kesadaran yang
khas dan sporadis. Pengalaman masa anarkis kadang memasuki kesadaran sebagai
imaji- imaji primitif, tidak sanggup diverbalkan secara akurat.
Ø Fase monarkis dicirikan oleh perkembangan ego
dan permulaan pemikiran logis dan verbal. Selama waktu ini anak-anak mulai
melihat diri mereka secara objektif dan sering menyebut dirinya dengan kata
ganti orang ketiga.
Ø Sedangkan pada masa dualistis, anak-anak
mulai menyebut diri mereka dengan kata ganti orang pertama dan menyadari
eksistensi mereka sebagai individu yang berbeda.
b.
Masa Muda
Periode dari masa pubertas ke
paruh baya disebut masa muda. Anak muda berjuang meraih kemandirian psikis dan
fisik dari orang tua mereka, menemukan belahan jiwanya, membentuk keluarga, dan
merebut sebuah tempat di panggung dunia ini. Menurut Jung, masa muda seharusnya
merupakan sebuah periode peningkatan aktivitas, kematangan seksualitas,
tumbuhnya pemahaman dan kesadaran bahwa era kanak-kanak yang bebas dari masalah
tidak akan kembali lagi. Kesulitan utama yang dihadapi di masa ini ialah
menaklukkan kecenderungan alamiah untuk mengandalkan kesadaran sempit masa
kanak-kanak agar terhindar dari masalah-masalah yang terus mengganggu seumur
hidup.
c.
Masa Paruh Baya
Jung berpendapat, usia paruh baya
ialah 35 hingga 40 tahun. Meskipun di usia ini dapat menghadapkan orang-orang
paruh baya kepada peningkatan kecemasan, namun hidup paruh baya juga menjadi
periode potensial yang menakjubkan. Jika orang-orang paruh baya mempertahankan
nilai-nilai sosial dan moral dari hidup mereka sebelumnya, maka mereka menjadi
sangat kolot dan fanatik dalam upayanya mempertahankan daya fisik dan
ketangkasan mereka. Ketika menemukan bahwa ideal mereka mulai bergeser, mereka
bisa berjuang dengan penuh rasa putus asa untuk mempertahankan daya tarik fisik
dan ketangkasan mereka.
d.
Usia Senja
Seiring dengan senja kehidupan
yang semakin mendekat, manusia mengalami penyusutan kesadaran. Jika di
kehidupan sebelumnya manusia takut pada kehidupan, maka di masa ini dan
selanjutnya mereka takut pada kematian. Rasa takut pada kematian adalah tujuan
hidup di mana hidup hanya dapat dipenuhi saat kematian dilihat dalam terang
ini.[14]
[1]Sarlito Wirawan Sarwoo, Berkenalan
dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang,
1987, hal. 188.
[2]http://selawatidwi.blogspot.com/2012/06/mengenal-tokoh-psikologi-carl-gustav.html
di unduh pada tanggal 16 Maret 2014
[3] Sarlito Wirawan
Sarwoo, op.cit., hal. 189-190.
[4]
C. George Boeree, Personality Theories (Melacak
Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia), Cet. 2, Jogjakarta: PRISMASOPHIE,
2005, hal. 120.
[5] Ibid., hal.
116.
[6] Sarlito Wirawan
Sarwito, op.cit, hal. 188.
[7] C. George Boeree, op.cit., hal.127.
[8] Sarlito Wirawan
Sarwito,op.cit., hal. 188-189.
[9] Jonh W.M.
Verhaar, Identitas Manusia, Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1989, hal.
37.
[12] Ibid., hal.
120.
[13] Alwisol,
Psikologi Kepribadian, Malang : Penerbit Universitas Muhammadyah Malang, 2005,
hal. 65.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Realisasi diri atau
kelahiran kembali secara psikologis, ialah proses untuk menjadi seorang
individu atau pribadi seutuhnya. Psikologi analitik pada esensinya merupakan
psikologi mengenai hal-hal yang berlawanan, dan realisasi diri adalah proses
untuk mengintegrasikan kutub-kutub yang berlawanan dalam satu individu tunggal
yang homogen.
Proses menjadi diri
sendiri berarti seseorang memiliki semua komponen psikologis yang berfungsi
dalam kesatuan, dengan melewati suatu proses yang memanusiakannya. Orang yang
melewati proses ini telah mencapai realisasi diri, meminimkan persona,
mengenali anima atau animus mereka, dan mencapai kesemibangan antara introversi
dan ekstraversi. Selain itu, individu yang merealisasikan diri sudah
mengembangkan fungsi psikologis sampai ke tingkat superior, sebuah prestasi
yang sangat sulit dicapai. Realisasi diri sangat jarang dan hanya bisa dicapai
oleh orang yang sanggup mengasimilasikan alam bawah sadar mereka ke dalam
kepribadian total mereka. Manusia yang merealisasikan dirinya sanggup
mengembangkan dunia eksternal maupun internal mereka. Tidak seperti individu
yang terganggu secara psikologis, mereka hidup di dunia nyata, dan melakukan
konsensi yang dibutuhkan untuk itu.
B.
Saran
Demikianlah, makalah yang kami
paparkan serta masih jauh dari kata baik. Oleh sebab itu, masukan dari berbagai
pihak sangatlah kami harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam
pemahaman.
Kurang lebihnya mohon maaf, semoga
kita dapat mengambil pelajaran dari pembahasan ini. Akhiirul kalam… Wallulmuwaafiq
Ilaaqwamithariq… Wassalam.
DAFATAR PUSTAKA
Ø Alwisol, Psikologi Kepribadian, Malang :
Penerbit Universitas Muhammadyah Malang, 2005.
Ø Boeree, C. George, Personality Theories
(Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia), Cet. 2, Jogjakarta: PRISMASOPHIE,
2005.
Ø Sarwoo, Sarlito Wirawan, Berkenalan dengan
Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang,
1987.
Ø Verhaar, Jonh W.M., Identitas Manusia,
Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar