SELAMAT MEMBACA SOBAT... SEMOGA BERMANFAAT AMIIN... BB : 542B97DF

Sabtu, 01 Februari 2014

Sejarah hubungan agama dan sains

MAKALAH
SEJARAH HUBUNGAN AGAMA DAN SAINS
 

Disusun Oleh:
Nama              Angga Abdul Malik
Prodi               Manajemen Pendidikan Islam
Semester        1(satu)
Mata Kuliah   lmu Alamiah Dasar

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2013



KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini saya akan membahas mengenai “SEJARAH HUBUNGAN AGAMA DAN SAINS”.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
    Karawang, 16 oktober 2013
       Penulis


      ANGGA ABDUL MALIK



BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
PEMIKIRAN klasik telah mengondisikan agama dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai dua dunia berbeda yang mesti terpisah keberadaannya. Berabad-abad lamanya, hubungan historis antara agama dan iptek menunjukkan 'model perang'.

Dari perspektif agama, iptek adalah produk dunia yang harus dihindari dan perlu menjaga jarak karena dianggap akan merusak doktrin agama. Pendapat fundamental  tokoh agama akhirnya merasuk dan mempengaruhi pola perilaku setiap pemeluknya, sehingga mereka menganggap iptek sebagai musuh berat. Hal ini terlihat dengan adanya semacam pemahaman turun temurun dari generasi ke generasi untuk tidak  mencurahkan perhatian lebih banyak kepada iptek.

Tidak dapat disangkal, teori evolusi yang dipelopori Darwin tentang manusia kera menuai kritik keras dari kalangan teolog atau tokoh agama. Teori ini dianggap memberontak otoritas kitab suci. Teori Galile Galileo tentang matahari sebagai pusat tata surya, mengakibatkan gereja kehilangan akal sehat. Akibatnya, Galileo harus menerima hukuman dibakar hidup-hidup. Inilah contoh  konkret betapa bencinya agama kepada iptek.

Hal serupa juga terjadi pada iptek. Tanpa ragu, iptek mengklaim keberadaan agama jauh lebih rendah darinya. Agama dianggap kolot dengan argumen irasionalnya yang tidak bisa diterima secara ilmiah. Iptek mengklaim, agama hanya milik orang yang tidak mau berpikir dan terpenjara dalam gua tanpa mendapatkan sinar/pencerahan. Klaim ini didasari bukti di mana agama tidak bisa dikaji secara epistemologis dan ilmiah.Bayangkan! Apa jadinya, tatkala keberadaan agama dan iptek terus saling menyalahkan ibarat anjing dan kucing. Apakah betul iptek merupakan sesuatu yang  negatif, kafir dan bersifat duniawi? Apakah benar agama tidak boleh bersahabat  dengan iptek? Upaya Robert untuk menjembatani agama dan iptek dalam bukunya  'Menjembatani Agama Dan Sains', merupakan langkah bijak.

Paradigma kolot hendaknya ditinggalkan. Sekarang saatnya kita meninjau ulang pola pikir yang dikondisikan demikian, sehingga diperoleh suatu konsep baru yang mampu menempatkan agama dan iptek pada satu rak yang tidak terpisahkan. Untuk membangun jembatan dapat dilakukan dengan meninjau ulang latar belakang historis antara agama dan iptek. Artinya, kita mesti menggali, menafsirkan dan membuka kembali bagian kitab suci yang berbicara tentang iptek.

Kalau mau jujur, pemikiran fundamental agamawan bukan bersumber dari kitab sucinya. Sebab, kalau bersumber dari kitab suci, tidak akan terjadi konflik antara agama dan iptek.

1
Dalam Kristen misalnya, dikatakan, manusia berkuasa atas ikan di laut, burung di udara dan atas seluruh bumi. Allah memberi tugas kepada manusia untuk menaklukkan alam semesta. Manusia diberi kebebasan untuk memanfaatkan alam semesta, dengan catatan tetap menjaga kelestarian dan keutuhannya.

Dalam Islam pun demikian. Ketika kita meninjau tradisi ilmiah Islam, muslim sangat berjasa terhadap orang Eropa. Orang Eropa mengenal sains dari tradisi  ilmiah Islam, dengan cara menerjemahkan teks pokok dari Bahasa Arab ke Bahasa  latin. Islamlah ibu sains di Eropa. Tradisi ilmiah Islam yang banyak diterjemahkan berasal dari karya Ibn Sina (980-1037), seorang guru besar sains Islam yang namanya diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi Avicenna.

Beberapa karya Ibn Sina yaitu fisika dan filsafat dari kitab al-Shifa (Buku Penyembuhan), kimia dan ilmu bumi, al-Qanum Fi'l Tibb (kanon kedokteran yang digunakan sebagai teks dasar untuk mengajar kedokteran selama tujuh abad di Timur dan Barat).

Mungkin tradisi ilmiah ini tidak cukup untuk membuktikan, Islam sangat  bersahabat dengan iptek. Oleh karena itu, kita perlu menjajaki hubungan Alquran dan sains, daripada memperdebatkan sesuai atau tidaknya antara Islam dan teori  evolusi. Kemudian mempelajari prinsip yang mendasari teori evolusi. Hal ini berkaitan dengan kosmologi Islam yang menjelaskan modalitas ciptaan yang mencakup dunia fisik dan nonfisik, di mana secara ontologi (wujud) eksistensi berhubungan dan bergantung pada Allah.

Dalam Budha pun hubungan antara sains dan agama sangat mudah disimpulkan, yakni saling mendukung. Sepanjang sejarah, ada beberapa contoh proyek Budha yang didukung iptek. Bangunan kuil Todaiji (terbuat dari konstruksi kayu terbesar di dunia) di ibukota Nara di Jepang, patung Budha Vairocana (dari perunggu terbesar) merupakan beberapa produk iptek yang mendukung proyek agama Budha.

Semua realitas ini mampu menuntun kita untuk memikir ulang konsep yang selama ini menganggap agama dan iptek bermusuhan. Kalaupun ternyata iptek menimbulkan  hal negatif, tidak lain karena manusia sendiri yang menyalahgunakannya. Jadi, kesalahan itu bukan ada pada iptek, melainkan manusia.

Rumusan masalah:
Rumusan masalah makalah ini adalah:
1.Bagaimana hubungan islam dan sains?
2.Bagaimana pengembangan sains dalam islam?

2
BAB II
PEMBAHASAN
1.HUBUNGAN ISLAM DAN SAINS
cerita tentang hubungan antara Islam dan sains dapat dipandang dari berbagai perspektif, mulai dari sosiologis ke sejarah dan dari metafisik ke ilmiah. Metodologi yang digunakan untuk cerita ini tergantung tentang bagaimana seseorang mempersepsi sifat hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, penting sekali memperhatikan keadaan awal di mana akan diceritakan dalam buku ini.
Pertanyaan tentang perspektif dan metodologi menjadi lebih penting dalam beberapa tahun terakhir, karena sejumlah besar kerja teoritis diterbitkan oleh para sarjana yang bekerja di bidang ilmu pengetahuan dan Kristen di Barat telah membentuk suatu model tertentu untuk menyelidiki isu yang berkaitan dengan interaksi antara ilmu pengetahuan dan agama, dan model ini tampaknya telah mendapatkan penerimaan umum. Model ini dapat disebut “entitas dua model”, ilmu pengetahuan dan agama dijadikan sebagai dua entitas yang terpisah. Kedua entitas ini yang secara definitif berbeda kemudian terpisah satu sama lain dan memungkinkan berbagai modus interaksi, seperti “konflik”, “independensi”, “dialog”, dan “integrasi” (Barbour, 2000).
Bagaimanapun, varietas ini adalah dalam model dua entitas; dengan kata lain, cara ini menjelaskan hubungan antara sains dan agama dengan menganggap bahwa “ilmu” dan “agama” adalah dua entitas terpisah yang memiliki sejumlah kemungkinan mode interaksi. Masing-masing mode dapat dibagi lagi menjadi berbagai kemungkinan klasifikasi dan dinilai menurut tingkat interaksi yang kuat atau lemah, tetapi model itu sendiri masih berlabuh di dasar paradigma yang menganggap entitas dua fenomena yang terpisah dan berbeda.
Model dua entitas berkembang dari latar belakang budaya, sejarah, dan nilai ilmiah tertentu, serta didukung oleh episode sejarah dari interaksi antara sains dan Kristen di dunia Barat. Akan tetapi, sekarang sedang diklaim bahwa model ini bersifat universal dan dapat digunakan untuk memahami hubungan antara semua tradisi ilmiah dan semua agama (Barbour, 2002).
Walaupun model ini telah dikritik karena memiliki kekurangan, kritik itu sendiri sebagian besarnya masih dalam kerangka dua entitas (Cantor dan Kenny, 2001). Karena ilmu pengetahuan seperti yang kita mengerti hari ini umumnya dianggap buah dari Revolusi Ilmiah Eropa pada abad ketujuh belas dan karena tradisi ilmiah ini secara khusus memiliki serangkaian konflik dengan Kristen, maka “model konflik” mendapatkan kredibilitas di dunia ilmiah serta dalam pikiran umum. Selain itu, karena ilmu pengetahuan diperanakkan oleh Revolusi Ilmiah Eropa sekarang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, maka sejarah interaksi antara ilmu pengetahuan dan agama juga disertai dengan pemahaman tersebut:

3
penyesuaian hanya dianggap penting oleh agama Kristen, Islam, atau agama-agama lain di dunia.
Salahnya lagi, model ini diterapkan pula untuk interaksi historis antara berbagai agama dan filsafat—misalnya, tradisi ilmiah Yunani, Romawi, dan Islam. Hal demikian telah menjadi kebiasaan untuk mencari contoh konflik atau kooperatifnya antara Islam dan tradisi ilmiah yang muncul dalam peradaban Islam. Pendekatan ini tidak membuat perbedaan antara ilmu pengetahuan pramodern dan modern sejauh landasan filosofis mereka tidak berbeda jauh, meskipun terdapat perbedaan mendasar antara pandangan dunia yang melahirkan dua tradisi ilmiah.
Dengan latar belakang ini, terlebih dahulu kita harus mengajukan pertanyaan mendasar: apakah model dua entitas yang muncul dari latar belakang budaya, sejarah, dan ilmiah tertentu benar-benar berlaku untuk semua agama dan semua tradisi ilmiah?
Model ini hanya dapat berlaku untuk semua tradisi ilmiah dan keagamaan jika:
1)      Sifat subyek ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Tuhan dan manusia harus dipahami dengan cara yang sama dalam semua tradisi agama;
2)      Sumber teks-teks dasar dari semua agama adalah sejajar dengan kitab sucinya dalam struktur epistemologis, metafisik, dan semantik; dan
3)      Dasar-dasar ilmu pengetahuan di semua peradaban adalah sebuah elemen yang tetap sama selama berabad-abad.
Bagaimanapun, pada saat sekarang istilah ilmu tidak memiliki definisi universal yang dapat diterima (Ratzsch, 2000:11). Selanjutnya, pengertian alam maupun ilmu pengetahuan atau hubungan timbal balik mereka diseragamkan di seluruh tradisi keagamaan atau dalam tradisi tunggal selama berabad-abad. Model dua entitas menjadi sangat bermasalah ketika kita mempertimbangkan perkembangan nilai dalam sejarah filsafat ilmu. Kebanyakan filsuf sepakat bahwa apa yang sekarang kita kenal dengan istilah ilmu bukan sebuah label homogen yang dapat diterapkan pada penyelidikan alam dalam semua era dan semua peradaban: yaitu, istilah ilmu terletak pada sejumlah konseptual khas peradaban yang dibentuk oleh etos sosial, budaya, dan sejarah dari peradaban tertentu. Apa yang dikenal sebagai ilmu pengetahuan hari ini umumnya dipahami sebagai entitas yang dimulai pada abad ketujuh belas, dibangun di atas teori dan eksperimen spektakuler oleh Galileo (1564-1642), Kepler (1571-1630), dan Newton (1642-1727), dan kemudian mengakar kuat di lembaga-lembaga sosial, ekonomi, akademik, dan budaya peradaban Barat. Bahkan, kemunculan tradisi ilmiah ini telah mengubah konsep ilmu pengetahuan yang ada sebelum abad ke tujuh belas. Banyak sejarawan kontemporer cenderung menyatakan ilmu pengetahuan yang muncul sebelum abad ketujuh belas dengan istilah kegiatan ilmiah dan sejak dua ribu tahun pada masa Yunani sebagai “Filsafat Alam”.


4
2.PENGEMBANGAN SAINS DALAM ISLAM
Peradaban Islam, khususnya sains pernah berjaya selama sekitar lima abad (abad ke-8 sampai 12) sehingga menjadi kiblat dari bangsa lain. Di antara faktor penyebabnya adalah adanya patron ilmu (penguasa Islam) yang mendukung secara material dan moral, luasnya jaringan perdagangan secara internasional, adanya semangat pluralis dari penguasa dan ilmuwan, dan tingginya etos sains dari para ilmuwan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah mengapa kemajuan sains ini kemudian redup dan stagnan? Bahkan, ketika Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798 dengan membawa sejumlah saintis dari berbagai cabang ilmu kondisi di Mesir saat itu sangat memprihatinkan. Para ulama (sheikh) sama sekali tidak menunjukkan semangat intelektual Islam yang dinamis sebagaimana ditunjukkan oleh para saintis muslim di era keemasan. Ulama Mesir ketika itu larut dalam dunia mistik dan kehilangan kreatifitas berpikirnya. Kondisi serupa juga dapat dijumpai di dunia Islam yang lain seperti Benua Indo-Pakistan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah, meskipun ada beberapa pengecualian di beberapa wilayah seperti Persia. Kondisi semacam ini berlangsung hingga kurun modern, padahal sains dan teknologi menjadi tolok ukuran kemajuan peradaban suatu bangsa saat ini.
 Untuk mengembangkan sains dalam Islam pada era globalisasi ini yang pertama perlu dilakukan adalah merekonstruksi sejarah sains dalam Islam klasik secara menyeluruh, ketika peradaban Islam [dalam bidang sains] mencapai era keemasan (al-’asr al-dhahaby). Rekonstruksi dilakukan dengan terlebih dahulu memetakan permasalahan sains yang dihadapi umat Islam saat ini. Dengan demikian, akan ditemukan faktor penyebab yang menjadikan sains di dunia Islam kontemporer tertinggal dengan peradaban lain. Upaya rekonstruksi perlu dilakukan, sebab dalam banyak hal umat Islam tidak cukup kritis dengan sejarahnya sendiri, terutama tentang kemajuan sains pada era klasik. Bahkan, sebagian orang masih belum dapat memisahkan antara wilayah normatif dan historis tentang sains. Seakan-akan dengan datangnya Islam secara otomatis sains juga berkembang. Pandangan idealis-normatif ini perlu dibenturkan dengan kenyataan sejarah, bahwa proses pengembangan sains dalam Islam tidak berjalan secara monolitik-linear, namun terjadi proses yang rumit dan kompleks sehingga perlu pembacaan kritis dan hermeneutis atas fakta sejarah masa lalu.
 Selanjutnya, bertolak dari rekonstruksi sejarah sains dalam Islam itu pada akhirnya ditemukan bahwa kemajuan sains dicapai ketika ada paradigma tauhid (tauhidic paradigm) dan etos sains yang dimiliki oleh saintis. Selain itu, peran patron ilmu dan ketersediaan khasanah sains pra-Islam juga mendukung pencapaian ini. Hal ini berujung pada cara pandang umat Islam tentang agamanya. Untuk itu, umat Islam perlu melakukan redefinisi tentang studi Islam; bahwa studi Islam (Islamic studies/dirasat islamiyyah) bukan hanya mencakup al-‘ulum al-naqliyyah saja seperti fiqih, kalam, tasawuf, tafsir dan hadis, namun juga al-‘ulum al-‘aqliyyah juga, seperti sains, humaniora dan humanitis. Yang menjadi ukuran adalah paradigma tauhid, bahwa semua ilmu yang terinspirasi dan didasarkan pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, apa pun hasil kesimpulannya, maka termasuk kategori studi Islam.
5
 Selain itu, dalam pemaknaan baru terhadap studi Islam itu tidak ada dikotomi antara wilayah agama dan sains, namun keduanya terintegrasi baik pada level ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Dalam pengembangan sains, paradigma bayani, burhani, dan ‘irfani harus dilakukan secara terpadu, bahwa yang menjadi sumber pengetahuan sains meliputi teks, realitas, dan pengalaman atau intuisi. Teks tidak sekedar ayat al-Qur’an dan matan hadis saja, namun juga mencakup referensi ilmu peninggalan saintis muslim ataupun non-muslim. Sementara itu, realitas terkait dengan fenomena alam sekitar yang selalu berubah dan kontekstual. Sedangkan pengalaman memungkinkan saintis bersikap empatik dan menghargai keragaman pendapat yang dihasilkan oleh saintis lain. Untuk itu, sikap inklusif dan pluralis perlu lebih dikepedankan ketimbang penghakiman dan klaim kebenaran sepihak.
 Ketiga, paling tidak ada tiga strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan sains dalam Islam kontemporer, yaitu pergeseran paradigma (shifting paradigm) sains di perguruan tinggi, kemauan politik (political will) penguasa, dan institusioalisasi etos sains. Pertama, paradigma yang dimaksud adalah cara pandang terhadap sains dalam Islam yang merupakan bagian integral dari studi Islam, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Tanpa paradigma ini pengembangan sains dalam Islam hanya sebagai justifikasi temuan sains dan teknologi dengan ayat dan hadis. Sebab, paradigma ini meniscayakan tidak lagi memisahkan wilayah sains dalam posisi yang diametral dengan agama. Bahwa secara ontologis, untuk memahami Tuhan dapat dilakukan melalui ayat-ayat qawliyah dan kawniyah. Kedua, pengembangan sains sangat dipengaruhi oleh adanya patron ilmu, terutama oleh penguasa, yang diwujudkan dalam bentuk dukungan dana dan pembuatan kebijakan yang pro-sains dan teknologi. Ketiga, perlunya institusionalisasi etos sains, yaitu universalisme, komunalisme, organized skepticism, dan disinterestedness, di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga sains dan teknologi lainnya. Wujud dari pelembagaan etos ini atara lain berupa kegiatan konkrit pengembangan sains seperti pengumpulan referensi pokok sains, kegiatan penelitian sains dan teknologi secara terstruktur dalam desain yang jelas, penghargaan terhadap saintis, dan berbagai forum ilmiah penunjang lainnya misalnya diskusi, seminar, lokakarya, simposium, sampai penelitian. Melalui lembaga ini juga perlu dibentuk lembaga riset dan pengadaan laboratorium yang representatif.
 Akhirnya, membangun jaringan keilmuan antar saintis dan lembaga sains dari mana pun harus dilakukan. Adanya jaringan yang luas memungkinkan terjadinya dialog dan tukar-menukar ilmu pengetahuan dan teknologi, baik dari sisi sumber daya manusia, literatur ataupun peralatan. Untuk dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain ini diperlukan paradigma pengelola lembaga yang terbuka, moderat, dan pluralis tanpa mengorbankan identitas keislaman yang membawa kerahmatan bagi seluruh alam (islam rahmatan li al-’alamin).



6
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas penulis menyimpulkan bahwa:
1. Semua realitas ini mampu menuntun kita untuk memikir ulang konsep yang selama ini menganggap agama dan iptek bermusuhan. Kalaupun ternyata iptek menimbulkan  hal negatif, tidak lain karena manusia sendiri yang menyalahgunakannya. Jadi, kesalahan itu bukan ada pada iptek, melainkan manusia.

2. Sains dan teknologi adalah simbol kemodernan. Akan tetapi, tidak hanya karena modern, kemudian kita mengabaikan agama sebagaimana yang terjadi di Barat dengan ideologi sekularisme. Karena sains dan teknologi tidak akan pernah bertentangan dengan ajaran Islam yang relevan di setiap zaman.

Metode dan contoh takhrij hadis

Metode takhrij hadis

a. Takhrij dengan mengetahui nama shahabat Nabi sebagai perawi hadits pertama.
Metode ini digunakan apabila nama shahabat Nabi yang menjadi rawi pertama itu tercantum pada hadits yang akan ditakhrij. Apabila nama shahabat tersebut tidak tercantum dalam hadits itu dan tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya, maka sudah barang tentu metode ini tidak dapat dipakai. Apabila nama shahabat tercantum pada hadits tersebut, atau tidak tercantum tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dalam mencarinya menggunakan tiga macam kitab, yaitu :
(1.) Kitab-kitab Musnad
(2.) Kitab-kitab Mu’jam
(3.) Kitab-kitab Athraf.
Sebagai contoh penggunaan metode ini adalah sebagai berikut : misalnya kita akan mentakhrij sebuah hadits nabi yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda :
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
Artinya:
Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764)

Rawi pertama yang membawakan hadits ini adalah Ibnu Abbas, maka jika kita menggunakan metode ini hendaknya mencari nama Abdullah bin Abbas dalam kitab-kitab musnad, mu’jam dan athraf.
Keunggulan metode ini adalah cepat sampai pada sahabat yang meriwayatkan hadis karena alfabetis. Sedangkan kekurangannya adalah lamanya pencarian sampai pada hadits yang dicari jika sahabat tersebut banyak meriwayatkan hadits. Selain itu kita belum bisa menentukan apakah riwayat yang dibawakannya itu shahih atau tidak.

b. Takhrij dengan mengetahui teks matan Hadits
Metode ini paling mudah digunakan, karena dengan mengetahui teks suatu hadits seorang pentakhrij dapat menelusuri riwayat tersebut. Hal ini didasarkan isi redaksi atau teks hadits yang akan ditakhrijnya, tentunya dengan bantuan dari matan (isi) riwayat tersebut. Misalnya sebuah hadits yang berbunyi من غشانا فليس منا Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari hadits dengan awal kata tersebut, karena lafadz pertamanya adalah من , maka pentakhrij harus mencarinya pada bab mim ( م ). Langkah kedua mencari huruf nun ( ن ) setelah mim ( م ) tersebut. Ketiga, mencari huruf-huruf selanjutnya yang mengiringinya, yaitu ghain ( غ ), dan demikian seterusnya.
Metode ini hanya menggunakan kitab penunjuk, yaitu : “Al-Mu’jam al-Mufarhas li alfazh al-Hadits al-Nabawi”. Kitab ini merupakan susunan orang orientalis barat yang bernama Dr. A.J. Wensink, Dr. Muhamad Fuad ‘Abd al-Baqi. Kitab-kitab yang jadi rujukan dari kitab ini adalah kitab yang Sembilan, diantaranya : Shahih Bukhari, shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi.
Dalam menjelaskan kualitas hadits, kitab ini menggunakan rumus-rumus sebagai berikut: صح untuk hadits berkualitas shahih; ح untuk hadits berkualitas hasan; dan ض untuk hadits berkualitas dla'if. Sedangkan untuk kode mukharrij dari hadits yang bersangkutan digunakan kode خ untuk Bukhari, م untuk Muslim, حم untuk Ahmad, ت untuk Turmuzhi.
Selain itu kitab-kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrij dengan metode ini di antaranya adalah al-Jami' al-Kabir karya Imam Suyuthi, al-Jami' al-Azhar karya al-Manawi, al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir karya Jalaluddin al-Suyuthi.
Dalam kitab al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir, Jalaluddin al-Suyuthi menghimpun dan menyusun hadits-hadits yang diatur berdasarkan urutaan huruf hijaiyyah, mulai dari huruf alif, ba', ta', dan seterusnya.
Dengan menggunakan metode ini, memungkinkan pentakhrij untuk cepat menemukan hadits yang dicari. Kesulitan yang mungkin dijumpai adalah apabila terdapat perbedaan lafadz pertama, seperti hadits yang berbunyi:
إذا اتــاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه
Menurut bunyi hadits di atas, lafadz pertamanya adalah إذا اتــاكم Tetapi, bila lafadz pertama yang kita ingat adalah لو اتــاكم, akan sulit menemukan hadits itu karena adanya perbedaan lafadz tersebut. Demikian juga apabila lafadz yang kita jumpai berbunyi إذا جاءكم , sekalipun semuanya memiliki pengertian yang sama.
Keunggulannya dari metode ini adalah walaupun tidak hafal semua hadits, dengan lafal pertama saja dapat dengan cepat menyampaikan pada hadits yang dicari. Selain itu pentakhrij juga akan menemukan hadis lain yang tidak menjadi objek pencarian dan mungkin dibutuhkan sehingga akan menambah perbendaharaan haditsnya. Adapun kelemahan metode ini adalah jika lafal yang dianggap awal hadis ternyata bukan awal hadist yang dicari sehingga tidak akan ditemukan. Selain itu jika terjadi penggantian lafal yang diucapkan Rasulullah juga tidak akan menyampaikan seorang pentakhrij kepada hadits yang ditakhrijnya tersebut.

c. Takhrij dengan mengetahui tema hadits
Dengan mengetahui suatu tema dari suatu hadits kita dapat melihat di mana hadits tersebut dikeluarkan. Metode ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadits. Orang yang awam akan hadits akan sulit untuk menggunakan metode ini. Karena yang dituntut dari metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu hadits yang akan ditakhrijnya. Menurut Mahmud Thahhan metode ini digunakan untuk orang-orang yang mempunyai instink dalam menyimpulkan sebuah tema dari suatu hadits. Walaupun demikian setaip orang yang memiliki azzam untuk mentakhrij suatu riwayat bisa saja menggunakan metode ini.
Metode ini menggunakan beberapa jenis kitab yang dapat dijadikan alat untuk melacak suatu riwayat. Di antara kitab-kitab tersebut adalah :
1. Kitab-kitab yang membahas seluruh masalah keagamaan dalam bentuk Al-Jawami’, al-mustakhrajat, al-mustadrakat, al-majami’, al-zawa’id, miftah kunuz al-sunnah. Di antara kitab yang menjadi rujukan adalah :
Al-Jami’ al-shahih karya Bukhari
Al-Jami’ al-shahih karya Muslim
Al-jami’ Abdurrazaq
Pada dasarnya takhrij dengan menggunakan metode ini bersandar pada pengenalan tema hadits. Setelah kita menentukan hadits yag akan kita takhrij, maka langkah selanjutnya yakni menyimpulkan tema hadits tersebut. Kemudian kita mencarinya melalui tema ini pada kita-kitab metode ini.
Kerap kali suatu hadits memiliki tema lebih dari satu. Sikap yang harus kita lakukan pada hadits yang seperti ini mencarinya pada tema-tema yang dikandungnya. Contohnya :
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ. رواه الترمذي ومسلم

Artinya:
Islam dibangun atas lima dasar yaitu, syahadat (kesaksian) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa bulan ramadhan”. HR Thirmidzi dan Muslim.
Hadits ini dicantumkan pada kitab iman, tauhid, shalat, zakat, puasa, dan haji. Untuk itu kita harus mencarinya pada kitab tema-tema tentang ini. Sangatlah jelas bahwa metode ini sangat mendasar metodenya pada pengenalan tema hadits. Ketidak tahuan metode ini akan menyulitkan proses takhrij.
Metode tema hadits tidak membutuhkan pengetahuan-pengetahuan lain di luar hadits seperti keabsahan lafal pertamanya,sebagaimana metode pertama,  pengetahuan bahasa arab denga parubahan-perubahanya katanya sebagaimana metode yang kedua, dan pengenalan perawi teratas sebagaimana metode yang ketiga. Yang dituntut pada metode ini ialah pengetahuan akan kandungan haduts. Hal ini sangtalh logis dalam mempelajari etode ini.
Selain itu metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits pada dri penelti. Seorang peneliti setelah menggunakan metode ini beberapa kali akan memiliki kemampuan yang bertambah terhadap tema dan maksud hadits yang merupakan Fiqh Hadits. Selain itu ia juga memperkenalkan kepada peneliti maksud hadits yang dicarinya dan hadits-hadits yang senada dengannya. Ini tentunya akan menambah kesemangatan dan membantu memperdalam masalah.
Adapun kekurangan dari metode ini adalah terkadang kandungan hadits sulit disimpulkan oleh seorang peneliti hingga tidak dapat menentukan temanya’ sebagai akibatnya pentakhrij tidak mungkin menggunakan metode ini. Demikian juga terkadang pemahaman peneliti tidak sesuai dengan penyusun kitab. Sebagai akibatnya penyusun kitab meletakkan hadits pada posisi yang tidak diduga oleh peneliti tersebut. Contoh ini banyak sekali, seperti hadits yang semula oleh peneliti disimpulkan sebagai hadits peperangan ternyata pada penyusunannya terletak pada hadits tafsir.

Kendati demikian, kedua kekurangan ini akan hilang dengan sendirinya dengan memperbanyak menela’ah kitab-litan hadits. Penela’ahan dengan berulang-ulang akan menimbulkan pengetahuan tentang metode para ulama dan tata letak tema hadits.

ILMU HADIS DIRAYAH dan RIWAYAH

Ø Ilmu hadis riwayah

a      Ilmu hadits Riwayah, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), tabi’at, maupun tingkah lakunya.
b)      Klasifikasi ilmu hadis riwayah:
1. HADITS RIWAYAH BIL-LAFDZI
Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.

2. HADITS RIWAYAH BIL-MA’NA
Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya.
Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.

Ø Ilmu hadis dirayah

a)      Ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya
b)      Cabang-cabang penting yang berkaitan dengan sanad dan rawi, antara lain:
                           ·     ’Ilm al-Jarh wa at-Ta`dil adalah ilmu yang membahas hal ikhwal rawi (periwayat)
dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, untuk menentukan periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Untuk menunjukkan atau menilai kekuatan periwayatan seseorang digunakan ungkapan-ungkapan.
                         ·     `Ilm Rijal al-Hadits adalah ilmu yang mengkaji keadaan rawi dan perilaku hidup mereka, mulai dari kalangan sahabat, tabi`in, dan tabi`it-tabi`in. Bagian dari ilmu ini adalah `ilm tarikh rijal al-hadits yaitu kajian terhadap periwayat hadits dengan menelusuri tanggai kelahiran, garis keturunan, guru sumber hadits, jumlah hadits yang diriwayatkan dan murid-muridnya;
                         ·     `Ilm Thobaqot ar-Ruwat adalah ilmu yang membahas keadaan periwayat berdasarkan pengelompokan tertentu.