SELAMAT MEMBACA SOBAT... SEMOGA BERMANFAAT AMIIN... BB : 542B97DF

Sabtu, 01 Februari 2014

Metode dan contoh takhrij hadis

Metode takhrij hadis

a. Takhrij dengan mengetahui nama shahabat Nabi sebagai perawi hadits pertama.
Metode ini digunakan apabila nama shahabat Nabi yang menjadi rawi pertama itu tercantum pada hadits yang akan ditakhrij. Apabila nama shahabat tersebut tidak tercantum dalam hadits itu dan tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya, maka sudah barang tentu metode ini tidak dapat dipakai. Apabila nama shahabat tercantum pada hadits tersebut, atau tidak tercantum tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dalam mencarinya menggunakan tiga macam kitab, yaitu :
(1.) Kitab-kitab Musnad
(2.) Kitab-kitab Mu’jam
(3.) Kitab-kitab Athraf.
Sebagai contoh penggunaan metode ini adalah sebagai berikut : misalnya kita akan mentakhrij sebuah hadits nabi yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda :
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
Artinya:
Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764)

Rawi pertama yang membawakan hadits ini adalah Ibnu Abbas, maka jika kita menggunakan metode ini hendaknya mencari nama Abdullah bin Abbas dalam kitab-kitab musnad, mu’jam dan athraf.
Keunggulan metode ini adalah cepat sampai pada sahabat yang meriwayatkan hadis karena alfabetis. Sedangkan kekurangannya adalah lamanya pencarian sampai pada hadits yang dicari jika sahabat tersebut banyak meriwayatkan hadits. Selain itu kita belum bisa menentukan apakah riwayat yang dibawakannya itu shahih atau tidak.

b. Takhrij dengan mengetahui teks matan Hadits
Metode ini paling mudah digunakan, karena dengan mengetahui teks suatu hadits seorang pentakhrij dapat menelusuri riwayat tersebut. Hal ini didasarkan isi redaksi atau teks hadits yang akan ditakhrijnya, tentunya dengan bantuan dari matan (isi) riwayat tersebut. Misalnya sebuah hadits yang berbunyi من غشانا فليس منا Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari hadits dengan awal kata tersebut, karena lafadz pertamanya adalah من , maka pentakhrij harus mencarinya pada bab mim ( م ). Langkah kedua mencari huruf nun ( ن ) setelah mim ( م ) tersebut. Ketiga, mencari huruf-huruf selanjutnya yang mengiringinya, yaitu ghain ( غ ), dan demikian seterusnya.
Metode ini hanya menggunakan kitab penunjuk, yaitu : “Al-Mu’jam al-Mufarhas li alfazh al-Hadits al-Nabawi”. Kitab ini merupakan susunan orang orientalis barat yang bernama Dr. A.J. Wensink, Dr. Muhamad Fuad ‘Abd al-Baqi. Kitab-kitab yang jadi rujukan dari kitab ini adalah kitab yang Sembilan, diantaranya : Shahih Bukhari, shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi.
Dalam menjelaskan kualitas hadits, kitab ini menggunakan rumus-rumus sebagai berikut: صح untuk hadits berkualitas shahih; ح untuk hadits berkualitas hasan; dan ض untuk hadits berkualitas dla'if. Sedangkan untuk kode mukharrij dari hadits yang bersangkutan digunakan kode خ untuk Bukhari, م untuk Muslim, حم untuk Ahmad, ت untuk Turmuzhi.
Selain itu kitab-kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrij dengan metode ini di antaranya adalah al-Jami' al-Kabir karya Imam Suyuthi, al-Jami' al-Azhar karya al-Manawi, al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir karya Jalaluddin al-Suyuthi.
Dalam kitab al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir, Jalaluddin al-Suyuthi menghimpun dan menyusun hadits-hadits yang diatur berdasarkan urutaan huruf hijaiyyah, mulai dari huruf alif, ba', ta', dan seterusnya.
Dengan menggunakan metode ini, memungkinkan pentakhrij untuk cepat menemukan hadits yang dicari. Kesulitan yang mungkin dijumpai adalah apabila terdapat perbedaan lafadz pertama, seperti hadits yang berbunyi:
إذا اتــاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه
Menurut bunyi hadits di atas, lafadz pertamanya adalah إذا اتــاكم Tetapi, bila lafadz pertama yang kita ingat adalah لو اتــاكم, akan sulit menemukan hadits itu karena adanya perbedaan lafadz tersebut. Demikian juga apabila lafadz yang kita jumpai berbunyi إذا جاءكم , sekalipun semuanya memiliki pengertian yang sama.
Keunggulannya dari metode ini adalah walaupun tidak hafal semua hadits, dengan lafal pertama saja dapat dengan cepat menyampaikan pada hadits yang dicari. Selain itu pentakhrij juga akan menemukan hadis lain yang tidak menjadi objek pencarian dan mungkin dibutuhkan sehingga akan menambah perbendaharaan haditsnya. Adapun kelemahan metode ini adalah jika lafal yang dianggap awal hadis ternyata bukan awal hadist yang dicari sehingga tidak akan ditemukan. Selain itu jika terjadi penggantian lafal yang diucapkan Rasulullah juga tidak akan menyampaikan seorang pentakhrij kepada hadits yang ditakhrijnya tersebut.

c. Takhrij dengan mengetahui tema hadits
Dengan mengetahui suatu tema dari suatu hadits kita dapat melihat di mana hadits tersebut dikeluarkan. Metode ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadits. Orang yang awam akan hadits akan sulit untuk menggunakan metode ini. Karena yang dituntut dari metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu hadits yang akan ditakhrijnya. Menurut Mahmud Thahhan metode ini digunakan untuk orang-orang yang mempunyai instink dalam menyimpulkan sebuah tema dari suatu hadits. Walaupun demikian setaip orang yang memiliki azzam untuk mentakhrij suatu riwayat bisa saja menggunakan metode ini.
Metode ini menggunakan beberapa jenis kitab yang dapat dijadikan alat untuk melacak suatu riwayat. Di antara kitab-kitab tersebut adalah :
1. Kitab-kitab yang membahas seluruh masalah keagamaan dalam bentuk Al-Jawami’, al-mustakhrajat, al-mustadrakat, al-majami’, al-zawa’id, miftah kunuz al-sunnah. Di antara kitab yang menjadi rujukan adalah :
Al-Jami’ al-shahih karya Bukhari
Al-Jami’ al-shahih karya Muslim
Al-jami’ Abdurrazaq
Pada dasarnya takhrij dengan menggunakan metode ini bersandar pada pengenalan tema hadits. Setelah kita menentukan hadits yag akan kita takhrij, maka langkah selanjutnya yakni menyimpulkan tema hadits tersebut. Kemudian kita mencarinya melalui tema ini pada kita-kitab metode ini.
Kerap kali suatu hadits memiliki tema lebih dari satu. Sikap yang harus kita lakukan pada hadits yang seperti ini mencarinya pada tema-tema yang dikandungnya. Contohnya :
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ. رواه الترمذي ومسلم

Artinya:
Islam dibangun atas lima dasar yaitu, syahadat (kesaksian) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa bulan ramadhan”. HR Thirmidzi dan Muslim.
Hadits ini dicantumkan pada kitab iman, tauhid, shalat, zakat, puasa, dan haji. Untuk itu kita harus mencarinya pada kitab tema-tema tentang ini. Sangatlah jelas bahwa metode ini sangat mendasar metodenya pada pengenalan tema hadits. Ketidak tahuan metode ini akan menyulitkan proses takhrij.
Metode tema hadits tidak membutuhkan pengetahuan-pengetahuan lain di luar hadits seperti keabsahan lafal pertamanya,sebagaimana metode pertama,  pengetahuan bahasa arab denga parubahan-perubahanya katanya sebagaimana metode yang kedua, dan pengenalan perawi teratas sebagaimana metode yang ketiga. Yang dituntut pada metode ini ialah pengetahuan akan kandungan haduts. Hal ini sangtalh logis dalam mempelajari etode ini.
Selain itu metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits pada dri penelti. Seorang peneliti setelah menggunakan metode ini beberapa kali akan memiliki kemampuan yang bertambah terhadap tema dan maksud hadits yang merupakan Fiqh Hadits. Selain itu ia juga memperkenalkan kepada peneliti maksud hadits yang dicarinya dan hadits-hadits yang senada dengannya. Ini tentunya akan menambah kesemangatan dan membantu memperdalam masalah.
Adapun kekurangan dari metode ini adalah terkadang kandungan hadits sulit disimpulkan oleh seorang peneliti hingga tidak dapat menentukan temanya’ sebagai akibatnya pentakhrij tidak mungkin menggunakan metode ini. Demikian juga terkadang pemahaman peneliti tidak sesuai dengan penyusun kitab. Sebagai akibatnya penyusun kitab meletakkan hadits pada posisi yang tidak diduga oleh peneliti tersebut. Contoh ini banyak sekali, seperti hadits yang semula oleh peneliti disimpulkan sebagai hadits peperangan ternyata pada penyusunannya terletak pada hadits tafsir.

Kendati demikian, kedua kekurangan ini akan hilang dengan sendirinya dengan memperbanyak menela’ah kitab-litan hadits. Penela’ahan dengan berulang-ulang akan menimbulkan pengetahuan tentang metode para ulama dan tata letak tema hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar