SELAMAT MEMBACA SOBAT... SEMOGA BERMANFAAT AMIIN... BB : 542B97DF

Sabtu, 12 April 2014

Syubhat

MAKALAH
MENINGGALKAN SYUBHAT



DI SUSUN OLEH:
         KELOMPOK 5             ANGGA ABDUL MALIK
                                               DAMAYANTI
                                               ARSELAWATI
         MATA KULIAH           HADIS TARBAWI
         PRODI                          S1- Manajemen Pendidikan Islam
         SEMESTER                 II (DUA)

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Merupakan prinsip dasar Islam, bahwa seorang muslim wajib mengikatkan perbuatannya dengan hukum syara’, sebagai konsekuensi keimanannya pada Islam. Sabda Rasulullah SAW,"Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Islam)." Maka dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang muslim mengetahui halal-haramnya perbuatan yang dilakukannya dan benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Termasuk dalam hal ini, halal-haramnya makanan, obat, perilaku, ibadah dan lain-lain.

Maknanya adalah yang halal itu jelas, tidak meragukan, sebagaimana yang haram juga jelas, tidak meragukan. Di antara keduanya ada barang yang syubhat yang kebanyakan manusia terjerumus ke dalamnya dan mereka tidak tahu apakah itu halal atau haram. Apabila tidak tahu halal dan haram suatu hal, maka akan timbul suatu penyakit yaitu syubhat. Penyakit ini lebih parah daripada penyakit syahwat. Karena penyakit syahwat masih bisa diharapkan sembuh, bila syahwatnya sudah terlampiaskan. Sedangkan penyakit syubhat, tidak akan dapat sembuh, kalau Allah tidak menanggulanginya dengan limpahan rahmat-Nya. Seringkali penyakit hati bertambah parah, namun pemiliknya tak juga menyadari. Karena ia tak sempat bahkan enggan mengetahui cara penyembuhan dan sebab-sebab (munculnya) penyakit tersebut. Bahkan terkadang hatinya sudah mati, pemiliknya belum juga sadar kalau sudah mati. Sebagai buktinya, ia sama sekali tidak merasa sakit akibat luka-luka dari berbagai perbuatan buruk.

B. Rumusan masalah

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan di makalah ini adalah:

1. Apa pengertian syubhat?
2. Syubhat dan macam-macamnya?
3. Bagaimana upaya setiap umat untuk menjauhi hal-hal syubhat?
4. Mengapa kita menjauhi perkara syubhat?
5. Apa manfaat meninggalkan perkara syubhat?

C. Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah hadits tarbawi dan sebagai sarana untuk mengembangkan wawasan kita serta menjadi masukan/solusi bagi kita dalam menjalankan kehidupan sehari-hari yang tidak terlepas dari hal-hal bersifat syubhat.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian syubhat

Yaitu keragu-raguan atau kekurang jelasan tentang  sesuatu (apakah halal atau haram dsb) karena kurang jelas status hukumnya; tidak terang (jelas) antara halal dan haram atau antara benar dan salah.
Sabda asulullah SAW:
Artinya: Dari Abu Abdillah, Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram (juga) jelas, (namun) diantara keduanya itu ada hal-hal yang syubhat, tidak banyak orang yang mengetahuinya. Barang siapa yang menjaga (diri) dari perkara syubhat itu maka ia telah menjaga kebersihan agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang jatuh ke dalam perkara yang syubhat maka ia (bisa) jatuh ke dalam perkara yang haram, seperti seorang pengembala yang mengembalakan (ternaknya) disekitar kawasan terlarang, nyaris (ternak gembalaannya itu) merumput di daerah terlarang tersebut. Ketahuilah! Bahwa setiap raja itu mempunyai kawasan terlarang, ketahuilah! Bahwa kawasan terlarang Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah! Di dalam jasad itu terdapat segumpal darah, apabila ia baik maka akan baik pula seluruh jasad, dan apabila ia rusak maka akan rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah! Ia itu adalah hati (H.R. Bukhari, Muslim, dll/ Arba’in An-Naawiyah, hadits No.6).

2. Syubhat dan macam-macamnya

Ulama berbeda pendapat tentang hukum syubhat. Ada yang berpendapat haram, ada yang berpendapat makruh, namun ada juga yang berpendapat tawaquf (tidak bisa diputuskan dengan pasti).

Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi berkata dalam mengomentari hadits di atas: Segala sesuatu itu dibagi menjadi tiga:
         ·            Pertama: Halal, dan ini sangat jelas, seperti makan roti, buah-buahan dan lain sebagainya dari makanan, juga seperti berjalan, melihat, dan amaliyah yang lainnya.
         ·            Kedua: Haram, dan ini juga sangat jelas, misalnya minum khamer, zina dan lain sebagainya
         ·            Ketiga: Syubhat, yang tidak jelas halal atau haramnya, yang karenanya banyak orang yang tidak mengetahuinya. Sedangkan ulama bisa mengetahuinya melalui berbagai dalil Al-Qur`an, Sunnah atau melalui qias. Jika tidak ada nash (al-Qur`an atau sunnah) dan tidak ada ijma’, maka dilakukan ijtihad. Meski demikian, jalan yang paling selamat adalah meninggalkan perkara syubhat.


 Ibnu Munzir membagi syubhat pada tiga bagian:
         ·            Sesuatu yang diketahui keharamannya secara jelas, namun kemudian timbul keraguan karena bercampur dengan yang halal, dalam hal ini, hukumnya jelas jatuh pada haram, seperti daging sapi yang tercampur dengan daging babi.
         ·            kebalikannya, yaitu sesuatu yang jelas halalnya namun kemudian timbul keraguan, atau jika keraguan itu muncul setelah ada rasa yakin, dalam hal ini kembali pada hukum asal/ yang diyakini semula, sebagaimana yang disebutkan oleh sebuah kaidah fiqh: اليقينلايزالبالشك / al-yaqiinu laa yazaalu bisy-syakk (sesuatu yang telah diyakini itu tidak bisa digugurkan dengan keraguan). Umpamanya seorang suami yang ragu-ragu apakah ia telah mengucapkan kalimat talak atau belum, atau seseorang yang telah berwudhu kemudian ragu-ragu apakah ia sudah batal atau belum.
         ·            sesuatu yang diragukan halal atau haramnya. Dalam hal ini lebih baik menghindarinya, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah terhadap kurma yang beliau temukan di atas tikar beliau. Beliau tidak mau memakan kurma tersebut karena khawatir kurma tersebut adalah kurma sedekah, sedangkan Rasulullah tidak boleh memakan sedekah.

3. Upaya untuk menjauhi hal-hal syubhat

Beberapa hal yang bersifat syubhat
3.1  Merayakan Natal (Hari Raya Umat Nasrani)
Perayaan Natal bersama pada akhir-akhir ini disalah artikan oleh sebagian ummat Islam dan disangka merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Karena salah pengertian tersebut ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal. Perayaan Natal bagi orang-orang Kristen adalah merupakan ibadah. Sebagai landasan dari hal tersebut adalah fatwa MUI tentang anjuran tidak mengikuti perayaan Natal di Indonesia:

a) Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan, berdasarkan atas:
1. Al Qur`an surat Al-Hujurat ayat 13:
Artinya: ” Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

2. Al Qur`an surat Luqman ayat 15
Artinya: ” Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan.”


3. Al Qur`an surat Mumtahanah ayat 8:
Artinya: ”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

b) Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqiqah dan peribadatan agamanya dengan aqiqah dan peribadatan agama lain berdasarkan :
1. Al Qur`an surat Al-Kafirun:
Artinya: ”Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu Mengetahui.”

3.2 Makanan (bahan tambahan makanan)
Banyak sekali pangan olahan yang perlu diwaspadai kehalalannya karena bahan tambahan makanannya yang masih perlu diteliti. Walaupun demikian, kembali perlu ditegaskan, tidak berarti pasti haram karena bahan-bahan pengganti yang halal juga sudah banyak dan pembuatannya tidak harus melalui jalan yang dijelaskan dalam tabel, karena masih mungkin ada berbagai alternatif seperti telah dibahas untuk kasus pengemulsi.

Ada satu jenis bahan tambahan makanan yang juga rawan kehalalannya (beberapa), sayangnya bahan ini banyak dipakai pada makanan olahan, bahan tambahan tersebut yaitu perisa (flavourings). Kekhawatiran ini disebabkan oleh karena beberapa hal, yaitu: 1) pelarut yang digunakan di antaranya etanol dan gliserol, 2) bahan dasar pembuatannya, 3) asal bahan dasar yang digunakan. Sebagai contoh, untuk menghasilkan flavor daging diperlukan base yang dibuat dari hasil reaksi asam amino atau protein hidrolisat, gula dan kadang-kadang lemak atau turunannya. Selain itu, pada waktu formulasi untuk flavor ayam misalnya (sering digunakan untuk mie instan, sup ayam, kaldu ayam, produk chiki (ekstrusi), dll), seringkali diperlukan lemak ayam, sehingga perlu jelas dari mana asalnya. Contoh lain lagi, untuk flavor mentega diperlukan bukan hanya bahan-bahan kimia tunggal pembentuk aroma mentega, tetapi juga asam-asam lemak untuk membentuk rasa dan mouthfeel, tentu saja perlu jelas dari mana asam lemaknya. Itu hanya dua contoh saja, perlu disadari bahwa jenis flavor ini jumlahnya ratusan, terbuat dari ribuan senyawa kimia bahan dasar, di samping pelarut, pengemulsi, enkapsulan, penstabil, dan aditif lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya mengaudit kehalalan bahan flavor ini, bukan pekerjaan mudah dan kembali memerlukan keahlian dan bekal pengetahuan yang tinggi di bidang ini, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.

4. Menyikapi perkara syubhat

Fitnah syubhat dapat dihadapi dengan ilmu. Sebagaimana perkataan Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh: “Seseorang yang kokoh dalam ilmu jika datang syubhat-syubhat kepadanya sebanyak ombak lautan tidak akan menggoyahkan keyakinannya, dan sama sekali tidak menimbulkan keraguan sedikitpun pada hatinya. Karena jika seseorang telah kokoh dalam ilmu maka tidak akan digoyahkan oleh syubhat, bahkan jika datang syubhat kapadanya akan

 ditolak oleh penjaga ilmu dan pasukannya sehingga syubhat tersebut akan kalah dan terbelenggu”

Cara orang menghadapi masalah syubhat inipun bermacam-macam, tergantung kepada perbedaan pandangan mereka, perbedaan tabiat dan kebiasaan mereka, serta juga perbedaan tingkat wara' mereka. Ada orang yang tergolong khawatir yang senantiasa mencari masalah syubhat hingga yang paling kecil sehingga mereka menemukannya. Seperti orang-orang yang meragukan binatang sembelihan di negara Barat, hanya karena masalah yang sangat sepele dan remeh. Mereka mendekatkan masalah yang jauh dan menyamakan hal yang mustahil dengan kenyataan. Mereka mencari-cari dan bertanya-tanya sehingga mereka mempersempit ruang gerak mereka sendiri, yang sebetulnya diluaskan oleh Allah SWT dalam Q.S. Al Maidah: 101:

Artinya: ” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW dalam kitab Arba’in Nawawi
Artinya:”Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW. Dan kesayangannya dia berkata : Saya menghafal dari Rasulullah SAW. (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (Riwayat Turmuzi dan dia berkata: Haditsnya hasan shoheh)

Oleh karena itu, bila umat menghadapi satu hal yang membingungkan, ragu antara halal dan haram maka sebaiknya hal itu ditinggalkan. Hal itu termasuk dalam kategori syubhat.

5. Manfaat meninggalkan perkara syubhat

1. Meninggalkan sesuatu yang syubhat dan komit terhadap yang halal dalam masalah apapun, dapat mengarahkan seorang muslim pada sikap wara’ yang sangat potensial untuk menangkal bisikan setan, serta dapat mendatangkan kebaikan yang sangat besar, di dunia maupun di akhirat. Dengan menjaga diri dari perkara-perkara syubhat, maka akan terjaga agamanya maupun kehormatannya.
2. Orang yang meninggalkan syubhat pasti akan terpelihara kehormatan dan agamanya, karena logikanya tidak mungkin seseorang mampu meninggalkan berbagai perkara syubhat sementara ia sendiri masih bergelimang dengan hal-hal yang haram.
3.Orang yang sudah terbiasa dengan hal-hal yang syubhat, dikhawatirkan suatu saat akan terjerumus pada hal-hal yang haram. Dalam hal ini, Rasulullah mengumpamakannya dengan orang yang mengembalakan kambing di dekat daerah terlarang. Sepandai-pandainya pengembala menjaga kambingnya, suatu saat pasti ada saatnya dia lengah, sementara kambing hanya tertarik pada makanan tanpa peduli apakah itu telah masuk daerah terlarang dan berbahaya atau tidak.
4.Dalam hadits ini, seolah Rasul mengibaratkan nafsu manusia dengan kambing. Kambing hanya menuruti naluri makannya tanpa peduli apakah daerah tempat ia merumput dilarang untuk dimasuki dan berbahaya untuk dirinya sendiri ataukah tidak. Iman yang tertanam

 dalam dada adalah pengembala kambing tersebut. Kalau iman lemah dan lengah dalam menjaga gembalaannya, maka nafsu akan lepas kendali. Dan pengembala yang baik tidak akan mau mengambil resiko gembalaannya merumput di tempat terlarang.
5. Diantara jalan menjaga kebersihannya adalah dengan tidak membiasakan diri pada hal-hal yang syubhat. Karena bila sudah terbiasa dengan hal-hal yang syubhat -apalagi yang haram-, hati tidak akan memiliki kepekaan lagi terhadap hal yang haram. Ibarat seorang pemulung yang sudah terbiasa mencium aroma busuknya sampah, maka ia tidak akan merasa terganggu dengan aroma busuknya. Tidur dan makan di tengah aroma busuk sampah adalah hal biasa bagi mereka.




 BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Syubhat adalah ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya. Oleh karena itu, bila umat menghadapi satu hal yang membingungkan (karena ketidakjelasan atau kesamarannya), ragu antara halal dan haram maka sebaiknya hal itu ditinggalkan. Hal itu termasuk dalam kategori syubhat.

Dengan menjauhi syubhat berarti kita telah membersihkan agama dan kehormatan kita dari noda-noda yang mungkin saja tanpa kita sadari menempel pada agama dan kehormatan kita. Dengan cara seperti ini, tidak akan ada tuduhan bahwa Islam membingungkan, karena sebenarnya Islam sudah sangat jelas. Hanya saja seringkali, karena pengetahuan yang terbatas banyak orang yang bingung menentukan sikap.

Bahwa setiap orang yang terjerumus kedalam perkara syubhat maka:
         ·            Banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
         ·            Dia termasuk orang yang terjerumus dalam sesuatu perkara yang haram.
         ·            Tidak akan sempurna keimanan dan ketaqwaannya.
         ·            Dia tidak menjaga kehormatan diri dan agamanya.
         ·            Berkurangnya kebaikan perbuatan dan kebaikan hati.


B. Saran

Yang paling baik adalah bagaimana kita menghindari hal-hal yang syubhat tersebut. Karena dengan menghindari hal yang syubhat kita telah menjaga kesucian diri dan agama.




DAFTAR PUSTAKA

Ø Imam Nawawi-Riyadhus shalihin







  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar