MAKALAH
BERISTINJA DENGAN TISU
DI SUSUN OLEH:
NAMA ANGGA
ABDUL MALIK
NIM 1341170505005
PRODI Manajemen
Pendidikan Islam
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SINGA PERBANGSA KARAWANG
TAHUN AKADEMIK 2013/2014
Apakah boleh beristinja dengan tisu?
Saat ini, hampir di semua mall, hotel,
gedung-gedung pertemuan,tempat rekreasi di Indonesia cenderung membuat toilet
tanpa air pembasuh, hanya disiapkan tissue saja. Padahal air di negeri ini
tergolong tidak sulit, air bersih melimpah ruah.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya, Islam mencakup seluruh urusan
kehidupan manusia, sampai masalah yang dianggap kecil dan remeh, yaitu urusan
bercebok. Diriwayatkan dari Salman al Farisi radliyallah 'anhu, pernah ada
seseorang yang bertanya kepada beliau perihal ajaran yang disampaikan oleh
Rasulullah SAW.
"Nabi kalian telah mengajarkan kepada
kalian segala sesuatu sampai pun perkara adab buang air?” Lalu Salman menjawab,
"Benar (beliau mengajarkan kami adab buang hajat), beliau melarang kami
menghadap kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil, bercebok dengan
tangan kanan, dan beristinja' kurang dari tiga buah batu." (HR. Muslim)
Pengertian bercebok
Bercebok dalam bahasa Arab dikenal dengan
istinja’, yaitu membersihkan kotoran yang keluar dari dua jalan (qubul dan
dubur) dengan air, batu, daun atau yang sejenisnya. Di samping istinja’,
bercebok disebut juga dengan istijmar, karena menggunakan jimar (batu kecil)
untuk membersihkannya. Dinamakan juga istithabah, karena mengharumkan tubuhnya
dengan menghilangkan kotoran darinya. (Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah: 1/205)
Berintinja’ wajib dilakukan dari setiap
sesuatu yang keluar dari dua jalan tersebut, seperi air seni, madzi, dan tinja.
Hal ini didasarkan pada hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,
“Jika salah seorang kamu mendatangi tempat
buang hajat, maka hendaklah ia bercebok dengan tiga buah batu. Sesungguhnya itu
sudah cukup baginya.” (HR. Abu Dawud, al-Nasai, dan Ahmad dari Aisyah
radliyallahu 'anha . Dihassankan oleh Al-Albani dalam al-Irwa’ no. 44)
Dengan apa beristinja'?
Dalam pembahasan ulama fiqih, disebutkan
bahwa beristinja’ bisa dengan dua macam:
1.
Dengan batu atau sejenisnya dari semua benda padat yang bisa
menghilangkan najis, bukan benda yang dimuliakan. Hal ini didasarkan pada
hadits di atas dan hadits lainnya tentang istinja' dengan tiga buah batu dan
tidak boleh kurang.
2.
Dengan air. Diriwayatkan dari Anas radliyallaahu 'anhu, ia berkata:
“Rasulullah SAW memasuki tempat buang air, lalu aku dan seorang anak seusiaku
lainnya
membawakan setimba air dan tongkat kecil,
maka beliau beristinja' (bercebok) dengan air.” (HR. Muslim, al-Tirmidzi, dan
Ahmad)
Antara air dan batu, mana lebih utama?
Beristinja’ dengan air lebih utama daripada
dengan batu karena Allah Ta’ala telah memuji ahli Qubba’ karena beristinja’
dengan air.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu
'anhu secara marfu’ bahwa ayat ini turun berkenaan dengan penduduk Quba’:
ِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا
"Di dalamnya terdapat orang-orang yang
ingin membersihkan diri." (QS. Al-Taubah: 108)
Ia berkata, “Mereka beristinja’ dengan air,
lalu turunlah ayat ini berkenaan dengan mereka.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu
Majah dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 45)
Al-Tirmidzi (I/31) berkata, “Hal inilah yang
berlaku di kalangan ahli ilmu. Mereka memilih beristinja’ dengan air. Adapun
beristinja’ dengan batu, menurut mereka, sudah mencukupi. Namun, mereka
menyukai beristinja’ dengan air dan memandangnya lebih afdhal. Ini adalah
pendapat yang dipilih oleh al-Tsauri, Ibnul Mubarak, al-Syafi’i, Ahmad, dan
Ishaq. (Lihat: Shahih Fiqih Sunnah (edisi Indonesia, Pustaka al-Tazkia), I/116)
Menghilangkan najis apakah harus dengan air?
Persoalan bercebok adalah persoalan
menghilangkan najis dari badan guna sahnya ibadah seorang muslim. Dan air kecil
dan besar tergolong bagian dari najis secara dzatnya (materinya). Sedangkan
uraian di atas telah dijelaskan bahwa bercebok tidak harus dengan air, walau
dengan air jauh lebih utama.
Bagaimana kalau didapatkan toilet yang hanya
disediakan tissue saja, tanpa air? Apakah bercebok untuk menghilangkan najis
dari badan hanya dengan tissue sudah mencukupi?
Dalam pembahasan menghilangkan najis ini,
para ulama berbeda pandapat. Paling tidak ada dua pendapat yang masyhur:
Pertama, disyaratkan air untuk menghilangkan
najis. Tidak sah menghilangkannya dengan selainnya, kecuali berdasarkan dalil.
Hal didasarkan pada sifat air yang telah Allah tetapkan sebagai benda suci lagi
menyucikan.
1.
Allah Ta'ala berfirman:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ
بِهِ
"Dan Allah menurunkan kepadamu hujan
dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu." (QS. Al-Anfal: 11)
dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan kesucian air.
2.
Perintah Nabi SAW untuk menyiramkan air pada air seni orang Arab Badui.
Menurut mereka perintah ini menunjukkan kewajiban, maka tidak sah menghilangkan
najis dengan selain air. (Muttafaq 'alaih)
3.
Perintah Nabi SAW, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Tsa’labah,
untuk mencuci bejana-bejana ahli kitab dengan air.
4.
Al-Syaukani berkata, “Air adalah asal untuk menyucikan najis. Karena
syaari’ menyifatinya sebagai benda yang suci. Tidak dapat dipindahkan kepada
selainya, kecuali ada ketetapan yang sah darinya. Jika tidak ada, maka tidak
boleh menggantinya. Karena hal itu termasuk berpaling dari sesuatu yang sudah
dimaklumi kesuciannya kepada sesuatu yang belum dimaklumi kesuciannya. Hal itu
berarti keluar dari jalur syariat.
Pendapat ini adalah yang masyhur dikalangan
madzhab Malik, Ahmad, dan al-syafi’i dalam qaul jadidnya. Pendapat ini juga
didukung oleh imam Al-Syaukani dan orang-orang yang mengikutinya.
Kedua, sah menyucikan dengan segala benda
yang dapat menghilangkan najis dan tidak disyaratkan air. Ini adalah madzhab
Abu Hanifah, satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Ahmad serta Imam Al-Syafi’i
dalam qaul qadimnya. Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan Syaikhul Utsaimin
berpendapat dengannya. Dan oleh Syaikh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim
dalam Shahih Fiqih Sunnah merajihkan pendapat ini dengan alasan sebagai berikut:
1.
Keberadaan air sebagai benda yang menyucikan tidak menafikan benda lain
yang bisa menyucikan seperti air.
2.
Syariat hanya mmerintahkan untuk membersihkan najis dengan air pada
kasus tertentu saja, dan tidaklah memerintah secara umum untuk menghilangkan
semua najis dengan air.
3.
Syariat telah mengizinkan untuk membersihkan sebagian najis dengan
sebagian air seperti: beristinja’ dengan batu, mengosok sandal dengan tanah,
membersihkan ujung pakaian dengan tanah, dan lainnya.
4.
Menghilangkan najis bukan termasuk bab ma’mur (sesuatu yang
diperintahkan) tetapi bab ijtinab al-mahdzur (menjauhi sesuatu yang dilarang).
Pada saat seseorang terkena najis dengan
sebab apapun, ketika itu berlakulah hukumnya. Karenanya, untuk menghilangkan
najis tidak disyaratkan niat. Akan tetapi, jika najis tersebut hilang dengan
perbuatan seseorang disertai dengan niat, maka ia mendapatkan pahala. Jika
najis hilang dengan sendirinya, tanpa sengaja menghilangkannya, maka hilanglah
mafsadah itu. Tapi dalam hal ini ia tidak mendapatkan pahala dan tidak pula
mendapat dosa. Kemudian Syaikh Kamal Sayyid salim menambahkan, “Jika najis
hilang dengan sesuatu, maka hukumnya juga hilang dan benda kembali suci.”
(Shahih Fiqih Sunnah: I/112-113)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar